7. Sunan Drajad
Asal-usul
Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau
putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum
Ibrahim atau Sunan Bonang.
Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu ayahnya kemudian
diperintah untuk berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari
ulama besar antara Tuban dan Gresik.
Raden Qosim mulai perjalanannya dengan naik perahu
dari Gresik sesudah singgah di tempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah
barat itu perahu beliau tiba-tiba dihantam ombak yang besar sehingga menabrak
karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan nyawa, tapi bila Tuhan
belum menentukan ajal seseorang bagaimana pun hebatnya kecelakaan pasti dia
akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan seekor
ikan besar yaitu ikan talang datang kepadanya. Dengan menunggang punggung ikan
tersebut Raden Qosim dapat selamat hingga ke tepi pantai.
Raden Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah
itu. Beliau juga berterima kasih kepada ikan talang yang dengan lantarannya dia
selamat. (tentu maksudnya berterima kasih kepada Allah, katrena Allah telah
mengirimkan ikan talang itu menjadi media pertolongan Allah kepadanya). Untuk
itu beliau telah berpesan kepada anak keturunannya agar jangan sampai makan
daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana, yaitu
ditimpa penyakit yang tiada lagi obatnya.
Ikan talang itu membawa Raden Qosim hingga ke tepi
pantai yang termasuk wilayah desa Jelag (sekarang termasuk wilayah desa
Banjarwati), kecamatan Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut masyarakat
setempat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim
adalah putra Sunan Ampel seorang Wali besar dan masih terhitung kerabat keraton
Majapahit.
Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan Pesantren.
Karena caranya menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang
datang berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim
mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 kilometer, di
sana beliau mendirikan surau langgar untuk berdakwah.
Tiga tahun kemudian secara mantap beliau mendapat
petunjuk agar membangun tempat berdakwah yang strategis yaitu di tempat
ketinggian yang disebut Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang
sekarang dibangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di
sebelah barat Museum tersebut.
Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang
dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya, dalam berdakwah adalah pendukung aliran
Putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya, dalam berdakwah menyebarkan agama
Islam, beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus
diamalkan dengan lurus dan benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh
dicampur baur dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian
rakyat sebagai alat dakwah. Di dalam museum yang terletak di sebelah timur
makamnya terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa
tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
Dalam catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut
sebagai seorang Wali yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia
beliau juga sangat rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang
dermawan. Di kalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering
menolong mereka yang menderita.
Ajaran Sunan Drajat yang Terkenal
Di antara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai
berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kang luwe
Menehono busono marang wong kang wudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian:
Berilah tongkat kepada orang yang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Adapun maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah
petunjuk kepada orang bodoh (buta). Sejahterakalah kehidupan rakyat yang miskin
(kurang makan). Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada orang yang tidak tahu
malu atau belum punya peradaban tinggi. Berilah perlindungan kepada orang-orang
yang menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun dapat
mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan kemampuan masing-masing. Bahkan
pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan untuk mengamalkannya.
Di samping terkenal sebagai seorang Wali yang berjiwa
dermawan dan sosial, beliau juga dikenal sebagai anggota Wali Songo yang turut
serta mendukung dinasti Demak. Simbol kebesaran umat Islam pada waktu itu.
Di bidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli
ukir, beliau juga pertama kali yang menciptakan Gending Pangkur. Hingga
sekarang gending tersebut masih disukai rakyat Jawa. Sunan Drajat, demikian
gelar Raden Qosim, diberikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di
sebuah bukit yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi,
yaitu tingkat atau derajat para ulama muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah
swt.
8. Sunan Muria
Asal-usul
Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh.
Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau
menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya.
Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu
puncaknya bernama Colo. Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut Solichin
Salam, sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat
jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan
dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang
menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
Sakti Mandraguna
Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan
dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung. Menurut pengalaman
penulis (Abu Khalid, MA) jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah
bukit sampai ke makam Sunan Muria tidak kurang dari 750 m.
Bayangkanlah, jika Sunan Muria dan istrinya atau
dengan muridnya setiap hari harus naik turun, turun naik guna menyebarkan agama
Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut
serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang
kuat. Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai
tempat tinggal Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki
kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.
Bukti bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti
mandraguna dapat ditemukan dalam kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi
Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang
disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.
Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan
Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas
usia Dewi Roroyono yang genap dua puluh tahun. Murid-muridnya diundang semua.
Seperti: Sunan Muria, Sunan Kudus. Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya
Gentiri. Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang dari
jauh.
Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya yaitu
Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan miniman. Keduanya adalah
dara-dara yang cantik rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh
tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya.
Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal
ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan
setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak
memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis
itu.
Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang,
yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil,
belum nampak benar kecantikannya yang mempesona, sekarang, gadis itu
benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir
melotot memandangi gadis itu terus menerus.
Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak
Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak
pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.
Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih
ketika lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya
yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang
dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.
Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali
diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan
kekonyolannya itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau
tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri gurunya.
Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis
sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.
Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke
tempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan
Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam
Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya.
Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya.
Mengendap-endap ke kamar Roroyono. Gadis itu disirapnya (sirap atau sirep
dikenal sebagai ilmu semacam hipnotis), sehingga tak sadarkan diri, kemudian
melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui
jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri.
Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya
diculik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil
membawa putrinya kembali ke Ngerang akan dijodohkan dengan putrinya itu, dan
bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya.
Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak.
Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang.
“Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari
tangan Pathak Warak”, kata Sunan Muria.
Tetapi, di tengah perjalanan Sunan Muria bertemu
dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum
acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria
berlari cepat menuju arah daerah Keling.
“Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa?”, tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono
yang dilakukan oleh Pathak Warak.
Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria
sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri
untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.
“Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria.
Murid-murid Kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha
merebut diajeng Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak
mengawininya, kami hanya sekedar membantu”, demikian
kata Kapa.
“Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri”, ujar Sunan Muria. “Itu benar, tapi membimbing orang
memperdalam agama Islam juga lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti
sanggup merebutnya kembali”,kata Kapa ngotot.
Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik
seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat
baik. Lagi pula ia harus menengok para santri di Padepokan Gunung Muria.
Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak,
Kapa dan Gentiri ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau
Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang ada tandingannya. Usaha
mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin
mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan beliau bertemu
dengan Adipati Pathak Warak.
“Hai Pathak Warak berhenti kau!”, bentak Sunan Muria. Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa
berhenti, karena Sunan Muria menghadang di depannya.
“Minggir! Jangan menghalangi jalanku!”, hardik Pathak Warak. “Boleh, asal kau kembalikan Dewi
Roroyono!” “Goblok ! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri! Kini aku hendak
mengejar mereka!”, umpat Pathak Warak.“Untuk apa kau mengejar
mereka?” “Merebutnya kembali!”, jawab Pathak Warak dengan
sengit. “Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan
denganku!” ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.
Tanpa basa-basi Pathak Warak melompat dari punggung
kuda. Dia merangsak ke arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi
dia, bukan tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.
Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah
jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan
ia menjadi lumpuh, tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana.
Kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri
telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil
alih tugas Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya
menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera
dilaksanakan.
Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah
Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang
hidupnya serba berkecukupan.
Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke
Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan ideal.
Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu
membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona
oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tak dapat tidur. Wajah
wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah diperistri kakak
seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang
menghujam di dada. Mengapa dulu mereka buru-buru menawarkan jasa baiknya.
Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang menikmati kebahagiaan
bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar laki-laki
diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan (kemaluan) mereka.
Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus menerus
kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan
terpesona, dan tidak terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan
mata.
Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki
Iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria.
Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara
bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.
Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun
ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria,
sehingga terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar
menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, hingga akhirnya Gentiri
tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah.
Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung
Muria secara diam-diam di malam hari. Tak seorang pun yang mengetahuinya.
Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid
pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap (sirep: dikenal
sebagai ilmu sirep, semacam hipnotis) murid-murid Sunan Muria yang berilmu
rendah… yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa
menculik dan membawa wanita impiannya itu ke pulau Seprapat.
Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro,
Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang datuk di Pulau
Seprapat. Ini biasa dilakukannya karena baginya bersahabat dengan pemeluk agama
lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut
Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup
berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan
akhlak Islam yang mulia dan agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama
itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya
banyak pemeluk agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara
sukarela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke Pulau Seprapat itu tidak
disambut baik oleh Wiku Lodhang datuk.
“Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat
kembalikan istri kakang seperguruanmu sendiri itu!”, hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
“Bapa Guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu?
Mengapa tidak kau bela?” protes Kapa. “Sampai
mati pun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu
muridku sendiri!”.
Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama.
Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya
Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat
kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya
yaitu Wiku Lodhang Datuk.
Begitu mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa
langsung melancarkan serangan dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk
menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang
dilakukan Kapa.
Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali
yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut
Kapa. Ternyata, serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa
berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria.
Mampu membalikkan serangan lawan.
Karena Kapa mempergunakan aji pamungkas yaitu puncak
kesaktian yang dimilikinya maka ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
“Maafkan saya tuan Wiku…”, ujar Sunan Muria agak menyesal. “Tidak mengapa. Menyesal
aku telah turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk
jalan kejahatan”, gunam sang Wiku.
Bagaimana pun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau
dia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria
kembali ke Padepokan dan hidup berbahagia.
9. Sunan Gunung Jati
Asal-usul
Dalam usia masih muda Syarif Hidayatullah ditinggal
mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja
Mesir. Tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan
ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan
ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah
berguru kepada beberapa ulama besar di daratan Timur Tengah. Dalam usia muda
itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu
Jawa ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
Perjuangan Sunan Gunungjati
Seringkali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah
yang bergelar Sunan Gunungjati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif
Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif
Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa
Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang
pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang
melawan penjajah Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah
makam dekat Sunan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai fathullah atau
Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis.
Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang
di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di
Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira
oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru
Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan
agar selalu dekat dengan makam gurunya. Syarifah Muda’im minta agar diijinkan
tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.
Syarifah Muda’im dan putranya yaitu Syarif
Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesanteren Gunungjati.
Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan
Gunungjati. Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan
anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada
tahun 1479, karena usianya sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana menyerahkan
kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan
artinya orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif
Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu
Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Meski Prabu
Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama
Islam di wilayah Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian menlanjutkan perjalanannya
ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya
saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan
Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi
Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah dikaruniai dua
orang anak yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan
agama Islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak
bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya
di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya Masjid
Demak.
Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali
lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan
ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan. Dengan
berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada
Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke
Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Pakungwati.
Daerah-daerah lain seperti: Surantaka, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain
menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan
diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan
Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan.
Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seroang keluarga istana Cirebon kawin
dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka
jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negri Cina
dan kawin dengan putri kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina
yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu
sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dengan negeri
Cina. Hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia
perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien
diganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar, ayah putri Ong Tien
ini membekali putrinya dengan harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar
barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu
sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana dan masjid
Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding
dari negeri Cina.
Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480
atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan
masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya wali songo dan sejumlah tenaga
ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan alijaga
mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan
ummat. Selesai membangun masjid, diteruskan dengan membangun jalan-jalan raya
yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk
memperluas pengembangan Islam di seluruh tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya
bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu.
Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis.
Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaannya ke pulau Jawa. Pelabuhan Sunda
Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak
Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu
Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang
Portugis di Malaka. Tetapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan
Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat dim
Malaka.
Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang
dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah
tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin
menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Pada tahun 1521 Sultan Demak dipegang oleh Raden
Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana
inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan
mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis
di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan
yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian
menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran. Mengapa
Pajajaran membantu Portugis? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada
perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas. Ketika Portugis menjanjikan bersedia
membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran
menyetujuinya.
Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak
dipimpin oleh Sunan Gunungjati? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus
berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin
serbuan itu.
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Dari
pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara
dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan
setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis
dan Pajajaran kalah. Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara Pajajaran cerai
berai tak menentu arahnya.
Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten
dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasuka Pajajaran. Usaha ini
tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu oleh putra Sunan Gunungjati
yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini
menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin. Fatahillah kemudian
diangkat sebagai Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi
Jayakarta. Fatahillah tidak dapat tinggal lebih lama di Jayakarta, karena
Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah
Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat.
Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah.
Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan
Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan
Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke.
Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya
yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon kedua dengan gelar
Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus
atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan. Sunan Gunungjati
lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau pesantren
Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad
Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya.
Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran
Sebakingking yang bergelar Sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di
Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kasultanan tapi
Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adipati Carbon I ini
adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan
Gunungjati. Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568 dalam usia 120 tahun. Bersama
ibunya, Pangeran Cakrabuana beliau dimakamkan di Gunung Sembung. Dua tahun
kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai. Fatahillah dimakamkan di tempat yang
sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.
Legenda Sunan Gunungjati dan Putri Cina
Kurang lebi sekitar tahun 479, Sunan Gunungjati pergi ke daratan Cina dan
tinggal di daerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul
Kamil.
Daratan Cina sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu
pengobatan, maka di sana Sunan Gunungjati juga berdakwah dengan jalan
memanfaatkan ilmu pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan tradisional. Di
samping itu, pada setiap gerakan fisik dari ibadah shalat sebenarnya merupakan
gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur –terutama bila seseorang mau
mendirikan shalat dengan baik, benar lengkap dengan amalan sunnah dan
tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak makan daging babi
yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan shalat lima waktu, makam orang
yang berobat kepada Sunan Gunungjati banyak yang sembuh sehingga nama
Gunungjati menjadi terkenal di seluruh daratan Cina.
Di negeri Naga itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan
Jenderal Cheng Ho dan sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, serta Feis Hsin,
ketiga orang ini sudah masuk Islam.
Pada suatu ketika Gunungjati berkunjung ke hadapan
Kaisar Hong Gie, pengganti Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming. Dalam kunjungan
itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan putri Kaisar yang bernama Ong Tien.
Menurut versi lain yang mirip sebuah legenda,
sebenarnya kedatangan Sunan Gunungjati di negeri Cina adalah karena tidak
sengaja. Pada suatu malam, beliau hendak melaksanakan shalat Tahajud. Beliau
hendak shalat di rumah tapi tidak bisa khusyu’. Beliau heran, padahal bagi para
wali, sahalat tahajud itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya.
Kemudian Sunan Gunungjati shalat di atas perahu yang
ditambatkan di tepi pantai Cirebon. Di sana beliau dapat shalat dengan khusyu’.
Bahkan dapat tidur dengan nyenyak setelah shalat dan berdoa.
Ketika beliau terbangun, beliau merasa kaget. Daratan
pulau Jawa tidak nampak lagi. Tanpa sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan
ombak hingga sampai ke negeri Cina.
Di negeri Cina beliau membuka praktik pengobatan.
Penduduk Cina yang berobat disuruhnya melaksanakan shalat. Setelah mengerjakan
shalat mereka sembuh. Makin hari namanya makinterkenal, beliau dianggap sebagai
shinse atau tabib sakti yang berkepandaian tinggi.
Kabar adanya tabib asing yang berkepandaian tinggi
terdengar oleh Kaisar. Sunan Gunungjati dipanggil ke istana. Kaisar Cina hendak
menguji kepandaian Sunan Gunungjati. Sebagai seorang tabib dia pasti dapat
mengetahui nama seorang yang hamil muda atau belum hamil.
Dua orang Kaisar disuruh maju. Sedang yang seorang lagi
masih perawan namun perutnya diganjal dengan bantal sehingga nampak seperti
orang hamil. Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil
sehingga nampak seperti orang yang belum hamil.
“Hai tabib! Mana di antara puteriku yang hamil?” tanya
Kaisar. Sunan Gunungjati diam sejenak, ia berdoa kepada Tuhan. “Hai orang asing
mengapa kau diam? Cepat kau jawab!”, bentak Kaisar Cina.
“Dia!” jawab Sunan Gunungjati sembari menunjuk putri
Ong Tien yang masih perawan. Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban
itu. Demikian pula seluruh menteri dan semua orang yang ada di balairung istana
Kaisar. Namu tiba-tiba tawa mereka terhenti, karena putri Ong Tien menjerit
keras sembari memegangi perutnya. “Ada apa anakku?” tanya Kaisar. “Ayah! Saya
benar-benar hamil!”
Maka gemparlah seisi istana. Ternyata bantal yang di
perut Puteri Ong Tien telah lenyap entah kemana. Sementara perut putri yang
cantik itu benar-benar membesar seperti orang hamil.
Kaisar munjadi murka. Sunan Gunungjati diusir dari
daratan Cina. Sunan Gunungjati menurut. Hari itu juga ia pamit pulang ke Pulau
Jawa. Namun Puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan
Gunungjati maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan
Gunungjati ke Pulau Jawa.
Kaisar Hong Gie akhirnya mengijinkan puterinya
menyusul Sunan Gunungjati ke Pulau Jawa. Puteri Ong Tien dibekali harta benda
dn barang-barang berharga lainnya seperti bokor, guci emas, dan permata. Puteri
cantik itu dikawal oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li Bang seorang
menteri negara, Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah salah
seorang murid Sunan Gunugjati tatkala beliau berdakwah di negeri Cina.
Dalam pelayaran ke Pulau Jawa, mereka singgah di
Kadipaten Sriwijaya. Begitu mereka datang para penduduk menyambutnya dengan
meriah sekali. Mereka merasa heran.
“Ada apa ini?” Pai Li Bang bertanya kepada tetua
masyarakat Sriwijaya. Tetua masyarakat balik bertanya,”Siapa yang bernama Pai
Li Bang?” “Saya sendiri”, jawab Pai Li Bang. Kontan Pai Li Bang digotong
penduduk di atas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa ke
istana Kadipaten Sriwijaya. Setelah duduk di kursi Adipati, Pai Li Bang
bertanya,”Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Tetua masyarakat itu
menernagkan,”Bahwa Adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan Sriwijaya telah
meninggal dunia. Penduduk merasa bingung mencari penggantinya, karena putera
Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa. Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan.
Dalam kebingungan itu muncullah Sunan Gunungjati,
beliau berpesan bahwa sebentar lagi akan datang rombongan muridnya dari negeri
Cina, namanya Pai Li Bang. Muridnya itulah yang pantas menjadi pengganti Ario
Damar. Sebab muridnya itu adalah seorang menteri negara di negeri Cina.
Setelah berpesan demikian Sunan Gunungjati meneruskan
pelayarannya ke Pulau Jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin kagum
kepada gurunya yang ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal
menyusul ke Pulau Jawa. Pai Li Bang tidak menolak kleinginan gurunya, dia bersedia
menjadi Adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat sebagai
kadipaten yang paling makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang meninggal dunia maka
nama kadipaten Sriwijaya diganti dengan nama kadipaten Pai Li Bang. Dalam
perkembangannya karena proses pengucapan lidah orang Sriwijaya maka lama
kelamaan kadipaten itu lebih dikenal dengan sebutan Palembang hingga sekarang.
Sementara itu Puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya
hingga ke Pulau Jawa. Sampai di Cirebon dia mencari Sunan Gunungjati. Tapi
Sunan Gunungjati sedang berada di Luragung. Puteri itu pun menyusulnya.
Pernikahan antara Puteri Ong Tien dengan Sunan Gunungjati terjadi pada tahun
1481, tapi sayang pada tahun 1485 Puteri Ong Tien meninggal dunia. Maka jika
anda berkunjung ke makam Sunan Gunungjati di Cirebon janganlah anda merasa
heran, di sana banyak ornamen Cina dan nuansa-nuansa Cina lainnya. Memang
ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari Cina.
Tokoh
pendahulu Walisongo
Syekh
Jumadil Qubro
Syekh
Jumadil Qubro adalah
Maulana Ahmad Jumadil Kubra bin Husain Jamaluddin bin Ahmad Jalaluddin bin
Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib
Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin
Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin
Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah
Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Syekh
Jumadil Qubro adalah
putra Husain Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan
(Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam
berbagaibabad dan cerita rakyat sebagai salah seorang
pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di
Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum
diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[3] [4]
Teori
keturunan Hadramaut
Walaupun masih ada pendapat yang menyebut
Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya,
namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para
mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh
Muhammad Al Baqir, dalam bukunyaThariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung
bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum
Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies
arabes dans l'archipel Indien (1886)[5] mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama
Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid
Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja
Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku
lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak
meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid
Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
van den Berg juga menulis dalam buku yang
sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat
penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit
yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian
mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan
kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan
Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian
besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang
Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti
jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut
abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian
besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18
yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad,
Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut
sebagian besar bermadzhab
Syafi’i, sama seperti
mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan
Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah,
Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab
Hanafi.
Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i
bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat
Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya
terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao,
Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul
Muin yang populer di
Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan
pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan
sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah
Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat
dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga
merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu
keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi,
seorang anak dariMuhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga
besar ini terkenal sebagai mubaligh
musafir yang berdakwah jauh
hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang
banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar,
Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Teori
keturunan Cina
Sejarawan Slamet
Muljana mengundang
kontroversi dalam buku Runtuhnya
Kerajaan Hindu Jawa (1968),
dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa
Indonesia.[6] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras
masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.[rujukan?]
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan
bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih
merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji
melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada
tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang
yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui
identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan
dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak
mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin
van Bruinessen,
bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang
diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf,
Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese
Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell
Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain,
seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap
dalam tulisan Parlindungan .
Sumber
tertulis tentang Walisongo
Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat
Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat
Walisanga karya Ranggawarsita padaabad ke-19, Kitab
Walisongo karya Sunan Dalem
(Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b.
`Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang
berjudulSejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957).
Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!)
Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani
Alawi seperti al-Jawahir
al-Saniyyah oleh Sayyid Ali
bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh
al-Dawudi, dan Syams
al-Zahirah oleh Sayyid Abdul
Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati,
Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
Syekh Jumadil Qubro
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas
Petilasan
Petilasan-(maqam)-nya dilaporkan ada di
beberapa tempat, yaitu di Semarang, Trowulan, dan di Desa Turgo (dekat Plawangan),
Kecamatan Turi, Yogyakarta. Ia wafat dan di makamkan di Wajo, Makassar,
Sulawesi Selatan
Syiar
Islam
Pada awalnya, Syekh Jumadil Qubro dan kedua
anaknya, Maulana
Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq, datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka
berpisah; Syekh Jumadil Qubro akhirnya ke Wajo, Makassar di mana ia
wafat dan dimakamkan, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, di sebelah selatan Vietnam, yang kemudian
mengislamkan Kerajaan Campa, sementara adiknya Maulana Ishaq pergi ke Aceh dan mengislamkan Samudra Pasai.
Turunan
Hubungan
dengan Laksamana Cheng Ho
Menurut catatan di Goa Batu, Semarang, tujuh
dari sembilan para Walisongo adalah keluarga dan rekan Panglima Cheng Ho yang juga berasal Xin Kiang (Xinjiang), sekarang berada di wilayah Tiongkok.