2. Sunan Ampel
Asal-usul
Kenalkah anda dengan daerah Bukhara? Bukhara ini
terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand ini dikenal sebagai daerah
Islam yang menelorkan ulama-ulama besar seperti sarjana hadits terkenal yaitu
Imam Bukhari yang mashur sebagai pewaris hadits sahih.
Di Samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh
Jamalluddin Jumail Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau
mempunyai seorang putra bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka
Ibrahim kemudian mendapat tambahan Samarqandi. Orang Jawa sangat sukar
mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim
Asmarakandi.
Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya
yaitu Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra untuk berdakwah ke negara-negara Asia.
Perintah ini dilaksanakan, dan beliau kemudian diambil menantu oleh raja Cempa,
dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan.
Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah
terletak di Muangthai (Thailand). Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan
maka Ibrahim Asmarakandi mendapat dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah
dan Sayyid Ali Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi
Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian keduanya
adalah keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran
kerajaan. Para Pangeran atau bangsawan kerajaan pada waktu itu mendapat gelar
Rahadian yang artinya Tuanku, dalam proses selanjutnya sebutan ini cukup
dipersingkat Raden.
Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari
negeri Cempa yang wajahnya dan kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga
istri-istri lainnya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya
yang tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu contoh adalah istri yang bernama
Dewi Kian, seorang putri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di
Palembang.
Ketika Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario
Damar saat itu sedang hamil tiga bulan. Ario Damar tidak diperkenankan
menggauli putri Cina itu sampai si jabang bayi terlahir ke dunia. Bayi dari
rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama Raden Hasan atau lebih dikenal
dengan nama Raden Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di
Demak Bintoro.
Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal Mahapatih Gajah
Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah
belah karena terjadinya perang saudara, dan para adipati banyak yang tak loyal
lagi kepada keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya.
Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke
istana Majapahit. Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini
membuat Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk
kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta
mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu
diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan
betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui
kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri dia mengajukan pendapat
kepada suaminya. “Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal
mengatasi kemerosotan budi pekerti,” kata ratu Dwarawati.
“Betulkah?” tanya sang Prabu. “Ya namanya Sayyid Ali
Rahmatullah. Putra dari kanda Dewi Candrawulan di negeri Cempa. Bila kanda
berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali
Rahmatullah ke Majapahit ini”.
“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di
Cempa bersedia mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini”, kata Raja
Brawijaya.
Ke Tanah Jawa
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh Raja Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh Raja Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tahan Jawa tidak
sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya sebagaimana disebutkan di atas.
Ayah Sayyid Ali Rahmat adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya
bernama Sayyid Ali Murtadho. Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit,
melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo,
Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau
dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan Palang Kabupaten
Tuban.
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau
berdakwah keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana
beliau mendapat sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik
mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid
Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai
permintaan Ratu Dwarawati.
Kapal layar yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan
Canggu. Kedatangannya disambut dengan suka cita oleh Prabu Kertabumi. Lebih
lebih lagi Ratu Dwarawati bibinya sendiri, wanita itu memeluknya erat erat
seolah sedang memeluk kakak perempuannya yang berada di istana Kerjaan Cempa.
Wajah keponakannya itu memang mirip dengan kakak perempuannya.
“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan
pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi
pekerti mulia?” tanya sang Prabu setelah Sayyid Rahmatullah beristirahat
melepas lelah. Dengan sikapnya yang sopan santun tutur kata yang halus Sayyid
Ali Rahmatullah menjawab,”Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha
sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka”.
“Bagus!” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan
kuberi hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau
akan mendidik para bangsawan dan pageran Majapahit agar berbudi pekerti mulia”.
“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu”,” jawab
Sayyid Ali Rahmatullah. Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali
Rahmatullah menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan
salah putri Majapahit yang bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila.
Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit,
karena dia adalah menantu raja Majapahit.
Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja
Brawijaya, maka beliau adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah
seorang pangeran. Para pangeran pada jaman dulu ditandai dengan nama depan
Rahadian atau Raden yang berarti Tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal
dengan sebutan Raden Rahmat.
Ampeldenta
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta.
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta.
Rombongan itu melalui desa Krian, Wonokromo terus
memasuki Kembangkuning. Selama dalam perjalanan beliau juga berdakwah kepada
penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwah yang pertama kali dilakukannya cukup
unik. Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar
tumbuh-tumbuhan tertentu dan dianyam rotan. Kipas-kipas itu dibagi-bagikan
kepada penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarkannya
dengan kalimah syahadat.
Penduduk yang menerima kipas itu merasa sangat senang.
Terlebih setelah mereka mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang
dianyam bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena
penyakit batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan
kepada Raden Rahmat. Pada saat demikianlah ia memperkenalkan keindahan agama
Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.
Cara itu terus dilakukan hingga rombongan memasuki
desa Kembangkuning. Pada saat itu wilayah desa Kembangkuning belum seluas
sekarang ini. Di sana-sini masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa.
Dengan karomahNYA, Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan
tempat sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang tersebut sekarang
telah dirubah menjadi Masjid yang cukup besar dan bagus, dinamakan sesuai
dengan nama Raden Rahmat yaitu Masjid Rahmat Kembangkuning.
Di tempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan
dengan dua tokoh masyarakat yaitu: Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua
tokoh masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut Raden
Rahmat.
Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin
mudah bagi Raden Rahmat untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat
sekitarnya. Terutama kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat
kepercayaan lama. Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan memberi
pengertian sedikit demi sedikit tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Jika
mereka sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka
secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepercayaan lama yang
bertentangan dengan ajaran Islam.
Setelah sampai di tempat tujuan, pertama kali yang
dilakukannya adalah membangun Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah. Ini
meneladani apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad saw saat pertama kali sampai
di Madinah.
Dan karena beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi
penguasa daerah tersebut maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel.
Sunan berasal dari kata Susuhunan, artinya Yang dijunjung Tinggi atau panutan
masyarakat setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata Suhu Nan
artinya Guru Besar atau Orang Yang Berilmu Tinggi.
Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat
mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau
datang berguru kepada beliau.
Ajarannya yang terkenal
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau Tidak Mau Melakukan Lima Hal tercela yaitu:
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau Tidak Mau Melakukan Lima Hal tercela yaitu:
1. Moh Main atau Tidak Mau Berjudi
2. Moh Ngombe atau Tidak Mau Minum Arak atau Bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau Tidak Mau Mencuri
4. Moh Madat atau Tidak Mau Menghisap candu, ganja dan lain-lain
5. Moh Madon atau Tidak Mau Berzina/main perempuan yang bukan istrinya
2. Moh Ngombe atau Tidak Mau Minum Arak atau Bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau Tidak Mau Mencuri
4. Moh Madat atau Tidak Mau Menghisap candu, ganja dan lain-lain
5. Moh Madon atau Tidak Mau Berzina/main perempuan yang bukan istrinya
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden
Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia,
maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka
Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk
agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Budha yang terakhir di
Majapahit.
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di
wilayah Surabaya bahkan di seluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa
rakyat tidak boleh dipaksa. Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada
paksaan dalam beragama.
Sesepuh Walisongo
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Walisongo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Walisongo, mereka adalah: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati.
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Walisongo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Walisongo, mereka adalah: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati.
Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi
anggota Walisongo menggantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal
dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain
tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan
peperangan dengan pihak Majapahit.
Para wali yang lebih muda menginginkan agar tahta
Majapahit direbut dalam tempo secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel berpendapat
bahwa masalah tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena
kerajaan besar itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam. Tak usah diserang
oleh Demak Bintoro pun sebenarnya Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang
lebih muda menganggap Sunan Ampel telah lamban dalam memberikan nasehat kepada
Raden Patah.
“Mengapa Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden
Patah terhitung menantunya sendiri. “Karena aku tidak ingin di kemudian hari
ada orang menuduh Raja Demak Bintoro yang masih putra Majapahit Prabu Kertabumi
telah berlaku durhaka yaitu berani menyerang ayahandanya sendiri”, jawab Sunan
Ampel dengan tenang.
“Lalu apa yang harus saya lakukan?” “Kau harus sabar
menunggu sembari menyusun kekuatan,” ujar Sunan Ampel. “Tak lama lagi Majapahit
akan runtuh dari dalam. Diserang adipati lain. Pada saat itulah kau berhak
merebut hak warismu selaku putra Prabu Kertabumi”.
“Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak
berkewajiban membelanya?” “Inilah ketentuan Tuhan,” sahut Sunan Ampel. “Waktu
kejadiannya masih dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah
peristiwa itu akan berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang
Majapahit itu”, Sunan Ampel adalah Penasehat Politik Demak Bintoro. Sekaligus
merangkap Pemimpin Walisongo atau Mufti Agama se-Tanah Jawa. Maka fatwanya
dipatuhi banyak orang.
Kekuatiran Sunan Ampel tersebut memang terbukti. Di
kemudian hari ternyata ada orang-orang pembenci Islam memutarbalikkan fakta
sejarah. Mereka menuliskan bahwa Majapahit jatuh diserang oleh kerajaan Demak
Bintoro yang Rajanya adalah putra Raja Majapahit sendiri. Dengan demikian Raden
Patah dianggap sebagai Anak Durhaka. Ini dapat anda lihat di dalam Serat Darmo
Gandul maupun sejarah yang ditulis para Sarjana yang membenci Islam.
Raden Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk
patuh pada fatwa Sunan Ampel. Tibalah saatnya Sunan Ampel wafat pada tahun
1478. Sunan Kalijaga diangkat sebagai penasehat bagian politik Demak. Sunan
Giri diangkat sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para Wali
dan pemimpin agama se-Tanah Jawa. Sesepuh yang selalu dimintai pertimbangannya.
Setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit sekarang
berubah. Ia menyetujui usul Aliran Tuban untuk mencari fatwa kepada Raden Patah
agar menyerang Majapahit.
Mengapa Sunan Giri bersikap demikian? Karena pada
tahun 1478 Kerajaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau
Girindrawardhana dari Kadipaten Kediri atau Keling. Dengan demikian sudah
tepatlah jika Sunan Giri menyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab
pewaris sah tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah selaku putera Raja
Majapahit yang terakhir.
Demak kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun
belum lagi serangan dilancarkan, Prabu Rana Wijaya keburu tewas diserang oleh
Prabu Udara pada tahun 1498.
Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit
merasa terancam kedudukannya karena melihat kedudukan Demak yang didukung Sunan
Giri Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu Udara kawatir jika terjadi
peperangan akan menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan minta
bantuan Portugis di Malaka. Padahal Putera Mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun
1511 telah menyerang Portugis di Malaka.
Sejarah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim
utusan ke Malaka untuk menemui Alfonso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah
berupa 20 genta (gamelan), sepotong kain panjang bernama Beirami tenunan
Kambayat, 13 batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak
salah jika pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta
Majapahit secara tidak sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan Demak.
Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentu bangsa Portugis akan
menjajah tanah Jawa jauh lebih cepat daripada bangsa Belanda. Setelah Majapahit
jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk Mahkota Rajanya.
Raden Patah diangkat sebagai Raja Demak yang pertama.
Sunan Ampel juga turut membantu mendirikan Masjid
Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu di antara empat tiang
utama Masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang
membuatnya yaitu Sunan Ampel.
Beliau pula yang pertama kali menciptakan Huruf Pegon
atau Tulisan Arab berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf pegon ini beliau dapat
menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada muridnya. Hingga sekarang huruf pegon
tetap dipakai sebagai bahan pelajaran agama Islam di kalangan pesantren.
Penyelamat Akidah
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat berhati-hati, hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel “Apakah tidak mengkawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah.?”
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat berhati-hati, hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel “Apakah tidak mengkawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah.?”
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan
Sunan Ampel,”Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat
lama yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya
warna Islam. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah
kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal gamelan dan wayang kulit,
kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun
tentang kekawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di
belakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.”
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang
menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung
hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati
menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah.
Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau
telah menyelamatkan aqidah ummat agar tidak tergelincir ke lembah musyrik.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan
di sebelah barat Masjid Ampel.
Murid-murid Sunan Ampel
Murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Walisongo adalah murid-murid beliau sendiri.
Murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Walisongo adalah murid-murid beliau sendiri.
Kali ini kami tampilkan dua kisah murid Sunan Ampel
yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan Ampel dimakamkan, yaitu:
Kisah Mbah Soleh
Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan.
Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan.
Adalah sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada
seorang manusia dikubur hingga sembilan kali. Ini bukan cerita buatan melainkan
ada buktinya. Di sebelah timur Masjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan.
Itu bukan kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan seorang yaitu murid Sunan
Ampel yang bernama Mbah Soleh.
Kisahnya demikian, Mbah Soleh adalah tukang sapu
masjid Ampel di masa hidupnya Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai Masjid
sangatlah bersih sekali sehingga orang yang sujud di masjid tanpa sajadah tidak
merasa ada debunya.
Ketika Mbah Soleh wafat beliau dikubur di depan
masjid. Ternyata tidak ada santri yang sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh
yaitu menyapu lantai masjid dengan bersih sekali. Maka sejak ditinggal Mbah
Soleh masjid itupun lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata
Sunan Ampel. “Bila Mbah Soleh masih hidup tentulah masjid ini menjadi bersih”.
Mendadak Mbah Soleh ada di pengimaman masjid sedang
menyapu lantai. Seluruh lantai pun sekarang menjadi bersih lagi. Orang-orang
pada terheran melihat Mbah Soleh hidup lagi.
Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan
dikubur disamping kuburannya dulu. Masjid menjadi kotor lagi, lalu terucaplah
kata-kata Sunan Ampel seperti dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini
berlangsung beberapa kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada saat kuburan
Mbah Soleh ada delapan Sunan Ampel meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian
Mbah Soleh meninggal dunia, sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan. Kuburan
yang terakhir berada di ujung paling timur.
Jika anda sempat berziarah ke makam Sunan Ampel,
jangan lupa untuk berdo’a di depan makam Mbah Soleh.
Kisah Mbah Sonhaji
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang juga mempunyai karomah.
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang juga mempunyai karomah.
Kisahnya demikian. Pada waktu pembangunan masjid Agung
Ampel, Sonhaji lah yang ditugasi mengatur tata letak pengimamannya. Sonhaji
bekerja dengan tekun dan penuh perhitungan, jangan sampai letak pengimaman
masjid itu tidak menghadap ke arah kiblat. Tapi setelah bangunan pengimaman itu
jadi banyak orang yang meragukan keakuratannya.
“Apa betul letak pengimaman masjid ini sudah menghadap
ke kiblat?” demikian tanya orang yang meragukan pekerjaan Sonhaji. Sonhaji
tidak menjawab, melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu
berkata,”Lihatlah ke dalam lubang ini, kalian akan tahu apakah pengimaman ini
sudah menghadap kiblat atau belum?”
Orang-orang itu segera melihat ke dalam lubang yang
dibuat Sonhaji. Ternyata di dalam lubang itu mereka dapat melihat Ka’bah yang
berada di Mekah. Orang-orang pada melongo, terkejut, kagum dan akhirnya tak
berani meremehkan Sonhaji lagi. Dan sejak saat itu mereka lebih bersikap hormat
kepada Sonhaji dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong.
Dari kisah karomah para wali ataupun para murid wali,
seyogyanya menjadi pelajaran bagi mereka yang masih hidup. Ambil contoh, kisah
Mbah Soleh di atas, seharusnya mereka yang masih hidup mau meneladani sifat dan
sikap Mbah Soleh yang menyukai Masjidnya selalu bersih, karena masjid merupakan
tempat yang perlu dijaga kebersihan dan kesuciannya.
Begitulah riwayat singkat Sunan Ampel dan 2 orang
muridnya. Semoga kisah mereka bisa menjadi pelajaran hidup bagi kita sebagai
generasi penerus mereka, dan semoga amal baik mereka mendapat balasan yang baik
dari Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.
3. Sunan Giri
Di awal abad 14 M, Kerajaan Blambangan diperintah oleh
Prabu Menak Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan
Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang memeluk
agama Budha.
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian
pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama
beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati
tapi sang putri belum juga sembuh.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang
dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut
gambaran babad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat
prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet
total.
Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu kemudian
mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan putrinya akan diambil
menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan
diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar di hampir pelosok
negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada
seorang pun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.
Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu
berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bajul Sengara untuk mencari
pertapa sakti guna mengobati penyakit putrinya. Diiringi beberapa prajurit
pilihan, Patih Bajul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa
biasanya tinggal di puncak atau di lereng-lereng gunung, maka kesanalah Patih
Bajul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.
Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi
Kandabaya yang mengetahui adanya seorang tokoh sakti dari negeri seberang.
Orang yang dimaksud adalah Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara
sembunyi-sembunyi di negeri Blambangan.
Patih Bajul Sengara dapat bertemu dengan Syekh Maulana
Ishak yang sedang bertafakkur di sebuah goa. Setelah terjadi negosiasi bahwa
Raja dan rakyat Blambangan mau diajak memeluk agama Islam maka Syekh Maulana
Ishak bersedia datang ke istana Blambangan. Ia memang piawai di bidang ilmu
ketabiban, putri Dewi Sekardadu sembuh setelah diobati. Pegebluk juga lenyap
dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan
dengan Dewi Sekardadu. Diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai
sebagian wilayah Blambangan.
Hasutan Sang Patih
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan. Makin hari semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas karena mengetahui hal ini.
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan. Makin hari semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas karena mengetahui hal ini.
Patih Bajul Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang
Prabu sudah mengadakan teror pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit
penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan
dipaksa kembali kepada agama lama. Walau kegiatan itu dilakukan secara rahasia
dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui juga.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan.
Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan
darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung
akibatnya. Maka dia segera berpamit kepada istrinya untuk pergi meninggalkan
Blambangan.
Demikianlah, pada tengah malam, dengan hati berat
karena harus meninggalkan istri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana
Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan
besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk
wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak. Tentu saja Patih
kecele, walau seluruh isi istana diobrak-abrik dia tidak menemukan Syekh
Maulana Ishak yang sangat dibencinya.
Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir
bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan
permaisurinya merasa senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok
dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya
terang.
Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkannya
bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarga istana selama empat puluh
hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu
wabah penyakit berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara bikin
ulah lagi.
“Bayi itu! Benar gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi
itu akan menjadi bencana di kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut
dukun-dukun terkenal di Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang
memancar dari jiwa bayi itu!” kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang
dibuat-buat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan,
dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun
sang Patih tiada bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji
akhirnya sang Prabu terpengaruh juga.
Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan
pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat
puluh hari akhirnya dimasukkan ke dalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke
samodra.
Joko Samodra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur pun tak bisa.
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur pun tak bisa.
Nakhoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa
sebab-sebab kemacetan itu, mungkinkah perahunya membentur batu karang. Setelah
diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah. Seperti
peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga. Nakhoda
memerintahkan mengambil peti itu. Diatas perahu peti itu dibuka, semua orang
terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok
dan rupawan. Nakhoda merasa gembira dapat menyelamatkan jiwa bayi mungil itu,
tapi juga mengutuk orang yang tega membuang bayi itu ke tengah lautan, sungguh
orang yang tidak berperi kemanusiaan.
Nakhoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk
melanjutkan pelayaran ke Pulau Bali. Tapi perahu tak dapat bergerak maju.
Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan
cepatnya.
Di hadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya pemilik kapal
Nakhoda berkata sambil membuka peti itu. “Peti inilah yang menyebabkan kami kembali
dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,”
kata sang Nakhoda.
“Bayi…? Bayi siapa ini?”, gunam Nyai Ageng Pinatih
sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti. “Kami menemukannya di tengah
samodra, Selat Bali, jawab Nakhoda kapal.
Bayi itu kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng
Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan
seorang anak. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng
Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samodra.
Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih
mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di
Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi
ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan
agar anak itu mondok saja di Pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi
dalam mempelajari agama Islam.
Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak
mengambil air wudhu guna melaksanakan shalat tahjuud mendoakan murid muridnya
dan mendoakan ummat agar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudhu Raden
Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang
memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun,
sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang
wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada murid itu.
Esok harinya, sesudah shalat subuh. Sunan Ampel
memanggil murid-muridnya itu. “Siapa di antara kalian yang waktu bangun tidur
kain sarungnya ada ikatan?” tanya Sunan Ampel. “Saya Kanjeng Sunan…” acung Joko
Samodra.
Melihat yang mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan
Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan
pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra, kesempatan
itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko
Samodra.
Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa
Joko Samodra ditemukan di tengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang
digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah
Nyai Ageng Pinatih.
Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum
berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng
Pinatih agar nama anak itu diganti dengan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih
menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar yang
sangat dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran
Majapahit itu.
Raden Paku
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan
untuk menimba pengetahuan yang lebih tinggi di Negeri Seberang sambil meluaskan
pengalaman.
“Di negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai
negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah
ayah kandungmu yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana
tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para
santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi
kehidupanmu di masa yang akan datang”.
Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden
Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira,
penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku
yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi.
Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih
kecil ditemukan di tengah samodra dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai
Ageng Pinatih dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan
pengalamannya di saat berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus
meninggalkan istri yang sangat dicintainya.
Raden Paku menangis sesenggukan mendengar kisah itu.
Bukan menangisi kemalangan dirinya yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu
Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya
berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di negeri Pasai banyak ulama besar dari negara asing
yang menetap dan membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat. Hal
ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda
itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun
kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu
laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya
seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari
ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Baghdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri
Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai
kehiduapn Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila
ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya pantas dimiliki
ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar
Syekh Maulana A’inul Yaqin.
Setelah tiga tahun di Pasai, dan masa belajar itu
sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan
kembali ke tanah Jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain
putih berisi tanah. “Kelak, bila tiba masanya dirikanlah Pesantren di Gresik,
carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau
membangun Pesantren”, demikian pesan ayahnya.
Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya.
Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintah
Makdum Ibrahim berdakwah di daerah Tuban. Sedang Raden Paku diperintah pulang
ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.
Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nakhoda dapat diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nakhoda dapat diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan
Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu terjual habis di
Pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari Pulau
Banjar yang sekiranya laku di Pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas, dan
lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda.
Tapi kali ini tidak, sesudah kapal merapat di pelabuhan Banjar, Raden Paku
membagi-bagikan barang dagangan dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk
setempat. Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera
memprotes tindakan Raden Paku. “Raden …kita pasti akan mendapat murka Nyai
Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?”
“Jangan kawatir paman”, kata Raden Paku. “Tindakan saya ini sudah tepat.
Penduduk Banjar pada saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan
dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari
mereka. Sudahkah ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka?
Saya kira belum, nah sekarang lah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk
membersihkan diri”.
“Itu diluar kewenangan saya Raden”, kata Abu Hurairah.
“Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya
tidak oleng dihantam ombak dan badai?” Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia
sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau
perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang
dengan apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli.
“Paman tak usah risau”, kata Raden Paku dengan
tenangnya “Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan
pasir”. Memang benar, mereka dapat berlayar hingga di pantai Gresik dalam
keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan
meninggalkan kapal untuk menghadap Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan Abu Hurairah memang tepat. Nyai Ageng Pinatih
terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak
normal itu. “Sebaiknya ibu lihat dahulu!” pinta Raden Paku. “Sudah jangan
banyak bicara, buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung
kita saja!”, hardik Nyai Ageng Pinatih. Tetapi ketika awak kapal membuka
karung-karung itu, mereka terkejut. Karung-karung itu isinya berubah menjadi
barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari Banjar, seperti rotan,
damar, kain, dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar
ketimbang barang dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar.
Perkawinan Raden Paku
Alkisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka. Kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Alkisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka. Kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Paku,
dan ia berkata,”Kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah”.
Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara,
siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan
dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung
menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
“Tak usah bingung, Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim
yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga muslimah yang baik. Karena hal itu sudah
menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu”,
demikian kata Sunan Ampel.
“Tapi…bukankah saya hendak menikah dengan putri
Kanjeng Sunan yaitu Dewi Murtasiah?”, ujar Raden Paku. “Tidak mengapa”, kata
Sunan Ampel. “Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiah
selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinanmu dengan Dewi Wardah”.
Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam
sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi
menantu Ki Ageng Bungkul seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang
makamnya terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat
berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar itu pula beliau menyiarkan
agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan
Nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan
hatinya. Ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan
pondok pesantren. Iapun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia
perdagangan. Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan. Andaikata
hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya
tiada akan habis, terlebih Juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng
Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan
miliknya, maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan
pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40
hari 40 malam, beliau tidak keluar goa, hanya bermunajat kepada Allah. Tempat
Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan
Kebomas.
Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan
ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai. Diapun berjalan berkeliling untuk
mencari daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah
perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, iapun mencocokkan tanah
yang dibawanya dengan tanah di tempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa
Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah
dataran tinggi atau gunung, maka dinamakan-lah Pesantren Giri. Giri dalam
bahasa Sansekerta artinya gunung.
Atas dukungan istri-istri dan ibunya juga dukungan
spiritual dari Sunan Ampel, tidak begitu lama, hanya dalam waktu tiga tahun
Pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh Nusantara.
Di muka telah disebutkan, bahwa hanya dalam tempo
waktu tiga tahun Sunan Giri berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya
terkenal ke seluruh Nusantara. Menurut Dr. HJ. De Graaf, sesudah pulang dari
pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada
dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang
pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas gunung
tersebut seharusnya ada istana karena di kalangan masyarakat dibicarakan adanya
Giri Kedaton (kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala
penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu, dan Ternate. Demikian
menurut De Graaf.
Menurut Babad Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu
justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum),
Arab, Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri
sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping
pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan
pembentukkan iman ummatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga
membangun asrama yang luas.
Di sekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang
dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya
Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau
sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu
melakukannya.
Peresmian Masjid Demak
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena
wayang yang bergambar manusia itu haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian
menurut Sunan Giri.
Jika Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak
itu dengan membuka pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat
berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan
agar Masjid Demak diresmikan pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan shalat
jamaah Jum’at.
Sunan Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan
kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk
wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia
lagi, lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu di hadapan
sidang para Wali. Karena tak bisa disebut sebagai gambar manusia maka akhirnya
Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.
Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan
sanggahan Sunan Giri, karena itu, Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada
momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga
dinamakan Sang Hyang Girinata, yang arti sebenarnya adalah Sunan Giri yang menata.
Maka perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa
diatasi. Peresmian itu akan diawali dengan shalat Jum’at, kemudian diteruskan
dengan pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki Dalang Sunan Kalijaga.
Jasa-jasa Sunan Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam meyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau.
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam meyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau.
Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan
Syekh Siti Jenar, seorang wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham
Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya.
Dengan demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan
dengan faham ahlus sunnah wal jama’ah.
Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni
dan konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang
disiarkannya adalah Islam yang sesuai ajaran Nabi, tanpa dicampuri kepercayaan
atau adat istiadat lama.
Di bidang kesenian beliau juga berjasa besar, karena
beliaulah yang pertama kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang
menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara
lain: Jamuran, Cublak Cublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Diantara permainan anak-anak yang dicintainya ialah
sebagai berikut: Di antara anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan
yang lainnya menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu
bila telah berpegang pada tonggal atau batang pohon yang telah ditentukan lebih
dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti permainan tersebut adalah
seseorang yang sudah berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid maka ia akan
selamat dari ajakan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu.
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu
biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan:
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang padhang gilar-gilar,
Nundung begog hangetikar”.
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang padhang gilar-gilar,
Nundung begog hangetikar”.
(Malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di
halaman, mengambil di halaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan,
mengusir gelap yang lari terbirit-birit)
Maksud lagu dolanan tersebut ialah:
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
Pengaruh Sunan Giri ini sangat besar terhadap
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah
adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah
memerlukan pengesahan dari Sunan Giri.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama
hampir 200 tahun. Sesudah Sunan Giri yang pertama meninggal dunia beliau
digantikan anak keturunannya yaitu:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturuanan Sunan Giri)
8. Pangeran Singosari.
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturuanan Sunan Giri)
8. Pangeran Singosari.
Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan
diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan kapten Jonker.
Serbuan ke Giri itu adalah dalam rangka penumpasan pemberontakan yang dilakukan
oleh Trunojoyo seorang murid dari Pesantren Giri yang pernah menjungkirbalikkan
Kraton Surakarta dan bahkan pernah menjadi Raja di Kediri.
Pemberontakan Trunojoyo itu dilakukan karena tindakan
sewenang-wenang dari Sunan Amangkurat I yang pernah menumpas dan membunuh 6000
ulama Ahlus sunnah wal jama’ah yang dituduh menyebarkan isu ketidakpuasan
rakyat terhadap raja. Padahal itu hanya fitnah dari orang-orang yang menjadi
kaki tangan Sunan Amangkurat I, mereka adalah para pengikut faham Manunggaling
Kawula lan Gusti, faham yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar yang ditentang
Walisongo.
Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679,
habislah kekuasaan Giri Kedaton. Yang tinggal hanyalah makam-makam dan
peninggalan Sunan Giri, yang dirawat oleh juru kunci makam. Meski demikian
kharismanya sebagai ulama besar, wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa. Itu
bisa Anda buktikan dengan melihat jumlah para peziarah yang tiap hari
membanjiri makamnya.
BERSAMBUNG .....................
( Adi, 2 Sept 2017 )
0 komentar:
Posting Komentar