4. Sunan Bonang
Brahmana dari India
Agama Islam yang menyebar luas di Tanah Jawa cukup
menggemparkan masyarakat dari belahan dunia lain. Termasuk para pendeta
Brahmana dari India. Salah seorang Brahmana bernama Sakyakirti merasa
penasaran. Maka bersama beberapa orang muridnya ia berlayar menuju Pulau Jawa.
Dibawanya pula kitab-kitab referensi yang telah dipelajari untuk dipergunakan
berdebat dengan penyebar Agama Islam di Tanah Jawa.
“Aku Brahmana Sakyakirti, akan menantang Sunan Bonang
untuk berdebat dan adu kesaktian”, ujar Brahmana itu sembari berdiri di atas
geladak di buritan kapal layar. “Jika dia kalah maka akan kutebas batang
lehernya. Jika dia yang menang aku akan bertekuk lutut untuk mencium telapak
kakinya. Akan kuserahkan jiwa ragaku kepadanya”.
Murid-muridnya, yang selalu berdiri dan mengikutinya
dari belakang menjadi saksi atas sumpah yang diucapkan di tengah samudera.
Namun ketika kapal layar yang ditumpanginya sampai di perairan Tuban, mendadak
laut yang tadinya tenang tiba-tiba bergolak hebat. Angin dari segala penjuru
seolah berkumpul jadi satu, menghantam air laut, sehingga menimbulkan badai
setinggi bukit.
Dengan kesaktiannya Brahmana Sakyakirti mencoba
menggempur badai yang hendak menerjang kapal layarnya. Satu dua kali hal itu
dapat dilakukannya namun terjangan ombak yang kelima kali membuat kapal
layarnya langsung tenggelam ke dalam laut. Dengan susah payah dia mencabut
beberapa batang balok kayu untuk menyelamatkan diri dan menolong beberapa orang
muridnya agar jangan sampai tenggelam ke dasar samudera.
Walaupun pada akhirnya ia dan para pengikutnya
berhasil menyelamatkan diri, namun kitab-kitab referensi yang hendak
dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut.
Padahal kitab-kitab itu didapatkannya dengan susah payah. Cara mempelajarinya
pun tidak mudah. Ia harus belajar bahasa Arab terlebih dahulu, pura-pura masuk
Islam dan menjadi murid ulama besar di negeri Gujarat. Kini, setelah sampai di
perairan Laut Jawa, tiba-tiba kitab-kitab yang tebal itu hilang musnah ditelan
air laut.
Tapi niatnya untuk mengadu ilmu dengan Sunan Bonang
tak pernah surut. Ia dan murid-muridnya telah terdampar di tepi pantai yang tak
pernah dikenalnya. Ia agak bingung harus kemana untuk mencari Sunan Bonang. Ia
menoleh kesana kemari. Mencari seseorang untuk dimintai petunjuk jalan. Namun
tak terlihat seorang pun di pantai itu.
Saat hampir putus asa, tiba-tiba di kejauhan ia melihat
seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Ia dan
murid-muridnya segera berlari menghampiri dan menghentikan lelaki itu. Lelaki
berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.
“Kisanak, kami datang dari India hendak mencari
seorang ulama besar bernama Sunan Bonang. Dapatkah Kisanak memberitahu dimana
kami bisa bertemu dengannya?” kata sang Brahmana. “Untuk apa tuan mencari Sunan
Bonang?”, tanya lelaki itu. “Akan saya ajak berdebat tentang masalah
keagamaan”, kata sang Brahmana. “Tapi sayang kitab-kitab yang saya bawa telah
tenggelam ke dasar laut. Meski demikian niat saya tak pernah padam. Masih ada
beberapa hal yang dapat saya ingat sebagai bahan perdebatan”.
Tanpa banyak bicara lelaki berjubah putih itu mencabut
tongkatnya yang menancap di pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang bekas
tongkat itu menancap, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.
“Itukah kitab-kitab tuan yang tenggelam ke dasar
laut?” tanya lelaki itu. Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab
itu. Ternyata benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari
menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
Murid-murid sang Brahmana yang sejak tadi sudah
kehausan langsung aja menyerobot air jernih yang memancar itu. Brahmana
Sakyakirti memandangnya dengan rasa kawatir, jangan-jangan muridnya itu akan
segera mabok karena meminum air di tepi laut yang pastilah banyak mengandung
garam.
“Segar! Aduh segarnya!”, seru murid-murid sang Brahmana
dengan girangnya. Yang lain segera berebutan untuk membasahi tenggorokannya
yang kering.
Brahmana Sakyakirti tercenung. Bagaimana mungkin air
di tepi pantai terasa segar. Ia mencicipinya sedikit. Memang segar rasanya.
Rasa herannya makin menjadi-jadi terlebih jika berpikir tentang kemampuan
lelaki berjubah putih itu dalam menciptakan lubang air memancar dan mampu
menghisap kitab-kitab yang telah tenggelam ke dasar laut. Pastilah orang
berjubah putih itu bukan orang sembarangan. Ia sudah mengerahkan ilmunya untuk
mendeteksi apakah semua itu hanya tipuan ilmu sihir? Ternyata bukan! Bukan ilmu
sihir, tapi kenyataan!.
Seribu Brahmana di India tak mampu melakukan hal ini!
Pikir sang Brahmana. Dengan rasa was-was, takut dan gentar ia menatap wajah
orang berjubah putih itu. “Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?” tanya
sang Brahmana dengan hati kebat-kebit. “Tuan berada di pantai Tuban!” jawab
lelaki itu. Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut
di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah lelaki berjubah
putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
“Bangunlah untuk apa kau berlutut kepadaku? Bukankah
sudah kau ketahui dari kitab-kitab yang kau pelajari bahwa sangat terlarang
bersujud kepada sesama makhluk. Sujud hanya pantas dipersembahkan kepada Allah
Yang Maha Agung!” kata lelaki berjubah putih yang tak lain memang Sunan Bonang
adanya.
“Ampun! Ampunilah saya yang buta ini, tak melihat
tingginya gunung di depan mata, ampunkan saya…!”, rintih sang Brahmana. “lho?”
Bukankah kau ingin berdebat denganku juga mau mengadu kesaktian?”, tukas Sunan
Bonang. “Mana saya berani melawan Paduka, tentulah ombak badai yang menyerang
kapal kami juga ciptaan Paduka, kesaktian Paduka tak terukur tingginya. Ilmu
Paduka tak terukur dalamnya”, kata Brahmana Sakyakirti.
“Kau salah, aku tidak mampu menciptakan ombak dan
badai”, ujar Sunan Bonang. “Hanya Allah yang mampu menciptakan dan menggerakkan
seluruh makhluk. Allah melindungi orang yang percaya dan mendekat kepadaNYA,
dari segala macam bahaya dan niat jahat seseorang!”
Sang Brahmana merasa malu. Memang kedatangannya
bermaksud jahat. Ingin membunuh Sunan Bonang melalui adu kepandaian dan
kesaktian.
Ternyata niatnya tak kesampaian. Apa yang telah
dibacanya dalam kitab-kitab yang telah dipelajari terbukti. Bahwa barangsiapa
memusuhi para waliNYA, maka Allah akan mengumumkan perang kepadanya. Menantnag
Sunan Bonang sama saja dengan menantang Tuhan yang mengasihi Sunan Bonang itu
sendiri.
Ia bergidik ngeri saat teringat bagaimana dirinya terombang-ambing
diterjang ombak badai, berarti Tuhan sendiri yang telah memberinya pelajaran
supaya mengurungkan niatnya memusuhi Sunan Bonang. Ia percaya, jika niatnya
dilaksanakan bukan Sunan Bonang yang kalah atau mati tapi dia sendirilah yang
bakal binasa.
“Kanjeng Sunan, sudilah menerima saya sebagai murid…”,
kata Brahmana itu kemudian. “Jangan tergesa-gesa”, ujar Sunan Bonang. “Kau
harus mempelajari dan mengenal Islam lebih banyak lagi, lebih lengkap lagi.
Sebab apa yang kau pelajari hanya sebagian-sebagian saja. Jika kau sudah
memahami Islam secara keseluruhan maka kau boleh pilih, tetap memeluk agama
lama atau menerima Islam sebagai agamamu terakhir”.
Sekali lagi sang Brahmana merasa malu. Ternyata Sunan
Bonang bersifat arif dan bijaksana, tidak memaksakan kehendak walau sudah
berada di atas angin. Seandainya Sunan Bonang memperbolehkannya untuk berlutut
dia akan bersujud dan menyembah sepasang kakinya.
“Bawa semua kitab-kitabmu, mari isinya kita bahas
bersama-sama”, kata Sunan Bonang sembari melanjutkan langkahnya. Brahmana
Sakyakirti dan murid-muridnya segera mengumpulkan kitab-kitab yang tercecer
lalu mengikuti langkah Sunan Bonang.
Pada akhirnya ia dan murid-muridnya rela masuk Islam
atas kesadarannya sendiri, dan menjadi pengikutnya yang setia.
Asal usulnya
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri
Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah salah seorang Pangeran
Majapahit karena ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya adalah menantu
Raja Majapahit.
Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti
atau pemimpin agama se-Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang
sangat tinggi. Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama
Islam secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha
para Wali itu lebih berat daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah
calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik
mungkin.
Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum
Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam
hingga ke Tanah seberang, yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan
kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar
kepada para ulama besar yang banyak menetap di negeri Pasai. Seperti ulama ahli
tasawuf yang berasal dari Baghdad, Mesir, Arab, dan Parsi atau Iran.
Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim
dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan
pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah
di daerah Lasem, Rembang, Tuban, dan daerah Sempadan Surabaya.
Bijak Dalam Berdakwah
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat.
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang
membunyikan alat musik itu. Beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa
seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat
bagi para pendengarnya.
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti
banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari
mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan
tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum
Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut
simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim
adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa
penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan
paksaan.
Murid-murid Raden Makdum Ibrahim sangat banyak, baik
yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya, maupun Madura. Karena
beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya
gelar Sunan Bonang.
Karya Sastra
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa”
artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu
Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk.
Sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid.
Di bawah ini adalah Suluk karya Sunan Bonang yang
disebut Suluk Wragul.
Dhandhanggula
Sunan Bonang
Wragul 1
Berang-berang, jika diteliti ini raga
Belum ketemu hakikatnya
Ada atau tidakkah ia
Sebenarnya aku ini siapa
Impian beraneka ragam
Kalau dipikirkan akhirnya menyedihkan
Yang mustahil banyak sekali
Segala wujud di semesta ini
Tak putus-putus sama sekali
Sunan Bonang
Wragul 1
Berang-berang, jika diteliti ini raga
Belum ketemu hakikatnya
Ada atau tidakkah ia
Sebenarnya aku ini siapa
Impian beraneka ragam
Kalau dipikirkan akhirnya menyedihkan
Yang mustahil banyak sekali
Segala wujud di semesta ini
Tak putus-putus sama sekali
Wragul 2
Maka dengarkanlah perlambang ini
Ada kera hitam sedang berdiri
Di tepi sungai
Tertawa keras tak kepalang
Kepada berang-berang yang mencarai makan
Siang dan malam
Terus tanpa kesudahan
Tak ingat bahwa ia diciptakan Tuhan
Yang diingat hanya makanan
Tanpa mempedulikan
Bahaya mengancam
Maka dengarkanlah perlambang ini
Ada kera hitam sedang berdiri
Di tepi sungai
Tertawa keras tak kepalang
Kepada berang-berang yang mencarai makan
Siang dan malam
Terus tanpa kesudahan
Tak ingat bahwa ia diciptakan Tuhan
Yang diingat hanya makanan
Tanpa mempedulikan
Bahaya mengancam
Wragul 3
Dilahapnya apa saja yang ia dapatkan
Tidaklah ia memperhatikan
Tuhan Yang Mahaagung yang menciptakan
Mustahil Ia tak sanggup memberi makan
Dari kehidupan hingga kematian
Apa pun saja dikodratkan
Telah disesuaikan
Ulat dalam batu pun diberi santunan
Maka jangan hanya suntuk mencari makan
Dilahapnya apa saja yang ia dapatkan
Tidaklah ia memperhatikan
Tuhan Yang Mahaagung yang menciptakan
Mustahil Ia tak sanggup memberi makan
Dari kehidupan hingga kematian
Apa pun saja dikodratkan
Telah disesuaikan
Ulat dalam batu pun diberi santunan
Maka jangan hanya suntuk mencari makan
Kuburnya Ada Dua
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Berita segera disebar ke seluruh Tanah Jawa. Para
murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan
penghormatan yang terakhir.
Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak
memakamkan jenazah beliau di pulau Bawean. Tetapi murid-murid yang berasal dari
Madura dan Surabaya menginginkan jenazah beliau dimakamkan dekat ayahandanya
yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenazah
mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang sudah dibungkus kain kafan milik orang
Bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya
menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban.
Lalu mengangkut jenazah Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke
Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa, kain kafan jenazah itu tertinggal
satu.
Kapal layar segera bergerak ke arah ke Surabaya.
Tetapi ketika berada di perairan Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan
mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan
Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jami’ Tuban.
Sementara kain kafan yang ditinggal di Bawean ternyata
juga ada jenazahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh hikmat.
Dengan demikian ada dua jenazah Sunan Bonang. Inilah
karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak
ada permusuhan di antara murid-muridnya.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525. Makam yang
dianggap asli adalah yang berada di kota Tuban sehingga sampai sekarang makam
itu banyak diziarahi orang dari segala penjuru Tanah Air.
5. Sunan Kalijaga
Diusir Dari Kadipaten
Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putra
Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali
disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama
Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada
agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan
sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka
jiwa Raden Said berontak.
Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak
manakala melihat praktik oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak
pada penduduk atau rakyat jelata. Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat
menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka
harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan
menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih
menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adat istiadat
kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala
lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga paling atas. Justru karena
pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan
rakyat Tuban.
Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah
disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia
cukup memahami posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu
tak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam
kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al Qur’an maka sekarang dia
keluar rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden
Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke
Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat
membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi
kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walaupun mereka tak
pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, sebab Raden Said
melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang
seakan turun dari langit itu. Penjaga Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit,
soalnya makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan
Majapahit itu makin berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi
di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik
sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang,
hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir
tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta
ia tak berani. Kawatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya
minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil
hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu
perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa
bahan-bahan makanan tiga orang prajurit Kadipaten menangkapnya beserta barang
bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya.
Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu.
Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi
yang hendak disetorkan ke Majapahit itu.
Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman,
karena kejahatan mencuri itu baru pertama dilakukannya maka dia hanya mendapat
hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa
hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah
diterimanya?
Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari
lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya.
Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya?
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam
dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban. Terutama orang
kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang.
Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir
miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini
mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui
aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu
mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan
topeng seperti topeng Raden Said juga.
Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja
menyelesaikan shalat Isya’ mendengar jerit tangis para penduduk desa yang
kampungnya sedang dijarah perampok.
Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu
mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan
melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang
gadis cantik.
Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang
diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti
dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya
kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu.
Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namum
pemimpin rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan
dipukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu.
Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri
dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan
kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata
terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka
topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu
sang kepala desa jadi terbungkam.
Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah
putra junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu.
Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah
bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.
Sang kepala desa masih berusaha menutup aib
junjungannya. Diam-diam membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa
diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Raden Said yang
selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik
pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.
“Pergi dari Kadipaten Tuban ini! Kau telah mencoreng
nama baik keluargamu sendiri! Pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat
menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al
Qur’an yang sering kau baca di malam hari!”
Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas
kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku
Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala
harapan sang Adipati.
Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai
perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said, yang yakin bahwa
Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan
perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa
kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten
Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.
Mencari Guru Sejati
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.
Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya
yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat.
Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang
menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di
hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu
membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus diawasinya orang tua
berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara
lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat
itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya
mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat
itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu
bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga
berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas.
Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera
diulurkannya kembali tongkat itu,”Jangan menangis, ini tongkatmu
kukembalikan”.
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” ujar lelaki
itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah!
Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku
jatuh tersungkur tadi”.
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?”,
tanya Raden Said heran. “Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa
suatu keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi
untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!”, jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang
mengandung nilai iman itu. “Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di
hutan ini?” “Saya menginginkan harta”, “Untuk apa?” “Saya
berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita”. “Hem, sungguh
mulia hatimu, sayang… caramu mendapatkannya yang keliru” “Orang tua… apa
maksudmu?” “Boleh aku bertanya anak muda?”, desah orang tua itu. “Jika
kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu
benar?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya
menambah kotor dan bau pakaian itu saja”.
Lelaki itu tersenyum. “Demikian pula amal yang kau
lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram, merampok atau
mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing”.
Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan
ucapannya,”Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang
yang baik atau halal”.
Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu.
Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini.
Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih
itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai
suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.
“Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas
kemiskinan dan penderitaan rakyat saat itu. Kau tidak bisa merubahnya hanya
dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan
para penguasa yang zalim agar mau berubah caranya memerintah yang
sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan
taraf kehidupannya!”.
Raden Said makin terpana, ucapan seperti itulah yang
didambakannya selama ini. “Kalau kau mau kerja keras, dan hanya ingin
beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah
sesukamu!”
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang
pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata
Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman
yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia
mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan
ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu
tetap masih menjadi emas. Berarti orang itu tidak menggunakan sihir. Ia
benar-benar merasa heran dan penasaran. Ilmu apakah yang telah dipergunakan
orang itu sehingga mampu merubah pohon aren menjadi emas?
Selama beberapa saat Raden Said terpukau di tempatnya
berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas
seluruhya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas
berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden
Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah
berubah lagi menjadi hijau seperti aren-aren lainnya. Raden Said bangkit
berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada
di tempat.
Ucapan orang tua itu masih terngiang di telinganya.
Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian
dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas
kemiskinan.
Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan
dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu
dari kejauhan.
Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya,
tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan
berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di
belakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena
kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar.
Tak ada jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus
menyeberang.
“tunggu… “, ucap Raden Said ketika melihat
orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi. “Sudilah Tuan menerima saya
sebagai murid…”, pintanya. “Menjadi muridku?”, tanya orang itu. “Mau
belajar apa?” “Apa saja asal Tuan menerima saya sebagai murid…” “Berat,
berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya?” “Saya
bersedia…”
Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi
sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat
itu sebelum lelaki itu kembali menemuinya. Raden Said bersedia menerima syarat
ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang
mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan
berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin
bahwa calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan
mungkin saja golongan para wali.
Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said,
pemuda itu duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam
Al Qur’an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya
ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam.
Doanya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya
selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan
hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang
menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah
mengumandangkan azan, pemuda itu membuka sepasang matanya.
Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang
bersih. Kemudian dibawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban? Karena Lelaki berjubah
putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama
sesuai dengan tingkatannya, yaitu tingkat para waliullah. Di kemudian hari
Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga.
Kalijaga artinya yang menjaga sungai. Karena dia
pernah bertapa di tepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah
penjaga aliran kepercayaan yang hidup di masa itu. Dijaga maksudnya supaya
tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said
dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi
selalu membawa tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu
membawa agama, membawa iman sebagai penunjuk jalan kehidupan.
Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau
agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam
kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih
berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa
amblas ke dalam sungai. Bahkan sedikit pun ia tak terkena percikan air sungai.
Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama
tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu
Islam.
Kerinduan Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang.
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang.
Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit Tuban,
kepala perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang persis dikenakan Raden
Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari
pengakuan perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia
benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang Ibu
tak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah
kembali ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban,
melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.
Untuk mengobati kerinduan sang Ibu. Tidak jarang Raden
Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh lalu
suaranya dikirim ke istana Tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar
menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati
Adipati Tuban dan isterinya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan diri.
Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali.
Pada akhirnya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan
betapa bahagianya Adipati Tuban dan isterinya menerima kedatangan putra-putri
yang sangat dicintainya itu.
Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan
kedudukan ayahnya, akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya
sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau
menyebarkan Islam di Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Beliau sangat arif dan
bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai Guru se
Tanah Jawa. Dari petani, pejabat, pedagang, bangsawan dan raja-raja dapat
menerima ajaran Sunan Kalijaga yang berciri khas Jawa namun tetap Islami. Dalam
usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir.
Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak. Semoga amal
perjuangannya diterima di sisi Allah. Amin.
Sunan Bayat dan Syekh Domba (Murid Sunan Kalijaga)
Murid-murid Sunan Kalijaga banyak sekali, seperti Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki Ageng Sela, Empu Supa, dan lain-lain. Di sini kami kisahkan tentang Sunan Bayat dan Syekh Domba.
Murid-murid Sunan Kalijaga banyak sekali, seperti Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki Ageng Sela, Empu Supa, dan lain-lain. Di sini kami kisahkan tentang Sunan Bayat dan Syekh Domba.
Bupati Semarang pada waktu itu bernama Ki
Pandhanarang. Ia terkenal sebagai seorang bupati yang kaya raya. Disamping
sehari-harinya dikenal sebagai seorang bupati, ia juga berbakat sebagai seorang
pedagang. Nah, karena mentalnya mental pedagang maka dia suka keluyuran keluar
masuk pasar setiap pagi.
Ia pandai mengambil keuntungan dari setiap usahanya.
Ia berdagang emas, intan, permata hingga sapi, kerbau, dan kambing. Kekayaannya
pada saat itu sungguh diatas rata-rata kekayaan pejabat. Istrinya banyak,
anaknya banyak dan relasinya juga banyak sehingga kedudukannya luar biasa
kuatnya. Tak ada seorang pun yang mampu menggoyangkannya bahkan pejabat di
tingkat pusat sekalipun. Sayang ada satu sifatnya yang tak baik yaitu kikirnya
setengah mati, kikir alias bakhil alias cethil bin medhit!.
Ia mempunyai beberapa kendaraan bagus dan jempolan.
Pada jaman sekarang bisa sekelas Jaguar, Mercedes, Ferrari, ataupun BMW, namun
pada saat itu adalah seekor kuda terbaik dari Sumbawa. Nah, karena kuda dan
sapinya banyak maka tiap pagi ia membutuhkan berkarung-karung rumput segar
untuk santapan kuda dan sapinya.
Suatu ketika di musim kemarau, para pegawainya yang
bertugas mencari rumput agak terlambat menyediakan santapan kudanya. Nah, pada
saat itu datanglah seorang penjual rumput memasuki halaman rumahnya. Umumnya
pada waktu itu sepikul rumput berharga dua puluh lima ketheng. Tapi ia
menawarnya dengan harga lima belas ketheng. Anehnya tanpa berbelit-belit
penjual rumput itu memberikannya begitu saja.
Esoknya penjual rumput bercaping lebar itu datang
lagi. Kali ini ia datang lebih pagi dengan membawa rumput yang lebih segar dari
kemarin. Bertanya Ki Pandhanarang,”Pak Tua, sepagi ini kau sudah membawa
rumput sesegar ini. Darimana kau memperolehnya?”. “Dari Gunung Jabalkat,
Tuan…”, jawab si penjual rumput.
Ki Pandhanarang merasa heran, sebab Gunung Jabalkat
adalah tempat yang sangat jauh sekali. Setelah rumput itu dibayar seperti harga
kemarin orang itu tidak segera beranjak pergi.
“Hei Pak Tua, apalagi yang kau tunggu?”. “Hamba
ingin minta sedekah Tuan”. Ki Pandhanarang merogoh sakunya, tanpa menoleh
ia lemparkan seketheng di hadapan kaki si penjual rumput lalu ia beranjak
pergi. Tapi si penjual rumput buru-buru maju menghadang. “Hamba tidak minta
sedekah uang, yang hamba minta adalah bedhug berbunyi di Semarang”.
Ki Pandhanarang mendelik penasaran. Minta bedhug
berbunyi di Semarang? Itu sama halnya dengan permintaan mendirikan Masjid, dan
menyebarkan agama Islam di Semarang. Ah, jangankan berdakwah wong shalat lima
waktu saja sudah enggan melaksanakannya.
“Kau jangan minta yang aneh-aneh Pak Tua. Sudah
ambil uang itu dan cepat pergi dari sini”. “Hamba tidak butuh uang.
Dapatkah uang dan harta menjamin keselamatan kita di akhirat kelak?”. Ki
Pandhanarang merah wajahnya pertanda marah. “Hai Pak Tua! Jangan
menyepelekan uang dan harta. Dengan uang dan harta itulah seseorang terangkat
derajatnya dan dihormati semua orang”.
Dengan beraninya penjual rumput itu berkata,”Hamba
kira tidak! Justru orang yang menjadi budak uang dan harta akan menjadi orang
yang hina dina dan tidak berbudi pekerti karena terbiasa menghalalkan segala
cara!”
“Pak tua! Bicaramu makin tak karuan, apakah dengan
pekerjaanmu sebagai penjual rumput itu kau merasa mulia. Apakah segala
kebutuhan hidupmu, anak istrimu tercukupi?”
“Soal harta dan kebutuhan hidup hamba selalu ikhlas
terhadap apa yang diberikan Tuhan. Kalau Cuma menginginkan emas permata, sekali
cangkul hamba bisa setiap saat mengeruknya dari dalam tanah”
“huh! Omonganmu semakin sombong saja pak Tua! Coba
buktikan omong besarmu itu! Jika memang terbukti aku akan berguru kepadamu,
namun jika kau hanya berkoar atau main sulap maka kau akan kuhukum dengan
hukuman seberat-beratnya!”
Ki Pandhanarang lalu menyuruh pembantunya mengambil
cangkul dan diberikan kepada si penjual rumput. “Hayo! Buktikan ucapanmu!”
Dengan tenang penjual rumput itu menerima cangkul.
Lalu diayunkannya pelan, dan ketika ditarik dari dalam tanah keluarlah
bongkahan emas permata. Semua orang terbelalak takjub melihat kejadian itu. Ki
Pandhanarang yang mata duitan itu berdiri terpaku di tempatnya sampai-sampai ia
tak menyadari lelaki penjual rumput itu sudah pergi meninggalkan halaman
rumahnya.
Ki Pandhanarang baru sadar bahwa ia berhadapan dengan
orang berilmu tinggi. Maka segera dikejarnya kemana orang itu pergi. Sebagai
seorang lelaki ia ingin memenuhi janjinya untuk berguru kepada si penjual
rumput. Setelah mengerahkan segenap tenaganya barulah is berhasil menyusul
lelaki penjual rumput itu.
“Buat apa kau menyusulku? Masih kurangkah bongkahan
emas permata tadi bagimu?” tegur si penual rumput itu. “Bukan, bukan
untuk itu saya kemari”. “Lalu apa maumu?” “Saya ingin berguru
kepada Tuan” “Berguru? Mau berguru apa, menimbun uang dan harta?”. “Bukan!
Saya ingin memperdalam agama Islam sehingga nantinya dapat saya gunakan untuk
membimbing rakyat Semarang”. “Jadi kau mau memenuhi permintaanku untuk
membunyikan bedhug di Semarang?”. “Benar Tuan!”. “Berkorban
dengan segala harta dan jiwa?”. “Saya bersedia…”. “Kalau begitu
kau harus menjalankan ibadah selama hidupmu, jangan sampai teledor menegakkan
shalat lima waktu. Kau harus beramal, dirikan masjid dan memberikan hartamu
kepada para fakir miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya. Jangan
sekali-kali kau terpikat oleh harta kecuali hanya sekedarnya saja sebagai bekal
ibadah. Orang berguru itu harus meninggalkan rumah, maka jika segala hal yang
kupesan tadi sudah kau laksanakan segeralah kau susul aku ke Gunung Jabalkat”.
“Wahai Tuan yang arif dan bijaksana. Ijinkanlah
saya mengetahui siapakah gerangan Tuan ini sesungguhnya?” “Aku adalah
Sunan Kalijaga yang diperintah para dewan wali untuk mengajakmu bergabung sebagai
anggota Walisongo, menggantikan Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati”.
Mendengar nama besar Sunan Kalijaga serta merta Ki
Pandhanarang berlutut untuk menghormat, namun seketika itu juga Sunan Kalijaga
lenyap dari pandangan matanya.
Ki Pandhanarang pulang ke rumahnya. Kini ia berubah
total. Dulu pelit sekarang menjadi dermawan sekali. Suka bersedekah. Ia juga
yang memprakarsai dan menanggung biaya untuk pembangunan masjid di Semarang. Ia
juga yang memilih kayu terbaik beserta kulit sapi yang sangat bagus untuk
digunakan sebagai bedhug.
Ia membayar zakat sebagaimana keharusannya setiap
muslim yang diwajibkan. Ia menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Semua itu
dilakukan dengan ikhlas karena Allah. Bukan sekedar untuk publikasi agar namanya
terkenal. Setelah tiba saatnya ia bermaksud menyusul Sunan Kalijaga di Gunung
Jabalkat.
Salah seorang dari istrinya memaksa hendak ikut ke
Gunung Jabalkat mendampingi dirinya. “Baiklah, kau boleh ikut tapi jangan
membawa harta. Itulah pesan guruku, harta hanya menjadi penghalang bagi tujuan
luhur cita-cita kita”.
Keduanya lalu berpakaian serba putih. Keduanya
berjalan kaki ke Gunung Jabalkat. Ki Pandhanarang berjalan di muka dengan
membawa tongkat biasa. Istrinya berjalan di belakang dengan membawa tongkat
bambu yang di dalam lubangnya diisi dengan emas dan permata.
Ki Pandhanarang yang berjalan di depan dicegat kawanan
rampok, namun karena ia tidak membawa harta ia segera dilepaskan begitu saja.
Sebaliknya, Nyai Pandhanarang dicegat tiga perampok. Tongkatnya dirampas,
isinya dikeluarkan dan dijadikan rebutan. Tiga perampok itu bersorak kegirangan
setelah mendapat emas dan permata milik Nyai Pandhanarang. Sementara Nyai
Pandhanarang menangis tersedu-sedu. Ia berteriak-teriak memanggil suaminya yang
berjalan jauh di depan.
“Kakangmas…! Apakah kau sudah lupa pada istrimu?
Ini ada orang tiga berbuat salah”. Konon karena peristiwa itulah, kini
tempat kejadian itu dinamakan SALATIGA.
Akhirnya Nyai Pandhanarang dapat menyusul suaminya.
Suaminya tidak kaget mendengar penuturan istrinya karena ia sudah tahu bahwa
sejak berangkat dari rumah, istrinya memang membawa emas dan permata. “Itulah,
kau tidak mematuhi saran guruku. Harta hanya menjadi penghalang tujuan luhur
kita. Sekarang kau berjalanlah di muka”.
Nyai Pandhanarang kemudian berjalan di muka. Tidak
berapa lama kemudian Ki Pandhanarang dicegat seorang perampok yang dikenal
sebagai Ki Sambangdalan. “Serahkan hartamu atau kau akan kuhajar hingga
babak belur!?”, demikian ancam Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa
harta!” jawab Ki Pandhanarang. Perampok itu tidak percaya, kemudian ia
merampas tongkat Ki Pandhanarang. Tentu saja tongkat itu tidak ada emasnya
karena hanya terbuat dari kayu biasa. “Dimana kau sembunyikan hartamu?”
hardik Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”, jawab Ki
Pandhanarang sambil terus melangkah. Anehnya Ki Sambangdalan membiarkan saja
korbannya berjalan. Ia hanya berani mengancam saja tapi tidak berani memukuli
Ki Pandhanarang.
Ki Sambangdalan terus mengikuti kemana Ki Pandhanarang
berjalan sambil terus mengeluarkan ancaman. Lama-lama Ki Pandhanarang bosan dan
risih mendengar ancaman Ki Sambangdalan. Maka ia berkata,”Kau ini bengal,
keras kepala seperti domba saja!”
Aneh, seketika kepala Ki Sambangdalan berubah menjadi
kepala seekor domba atau kambing. Tapi ia tidak menyadarinya. Ia terus
mengukuti kemana Ki Pandhanarang pergi. Suatu ketika keduanya sampai di tepi
sungai. Melihat air Ki Sambangdalan merasa risih, ia takut terkena basah, lalu
ia melihat bayangannya sendiri di air jernih maka menjeritlah ia. “Waduuuuhhh!
Ampuuuuuuun, mengapa kepalaku berubah menjadi domba??”. “Itu karena
kesalahanmu sendiri”, ujar Ki Pandhanarang. “Kembalikan ujud kepalaku
seperti semula…”, pinta Ki Sambangdalan. Ki Pandhanarang tidak menjawab. Ki
Sambangdalan menjadi takut, maka ia terus ikut kemanapun Ki Pandhanarang pergi.
Perjalanan pun sampai di tempat tujuan, yaitu Gunung Jabalkat. Tapi pada saat
itu Sunan Kalijaga sedang berdakwah ke luar daerah. Ki Pandhanarang berujar
bahwa jika Ki Sambangdalan ingin menjadi manusia normal kembali, maka ia harus
bertirakat dan bertobat. Untuk menebus dosanya Ki Sambangdalan harus mengisi
jun (padasan) dengan air dibawah bukit. Jun itu tidak tertutup sehingga apabila
Ki Sambangdalan sampai di atas bukit airnya sudah habis. Tapi karena ingin
kepalanya kembali seperti semula maka ia tidak putus asa, tiap hari
dilakukannya pekerjaan itu sambil beristighfar, tobat minta ampun kepada Tuhan.
Pada suatu hari Sunan Kalijaga datang ke tempat itu.
Mereka bertiga segera duduk bersimpuh. Secara ajaib kepala Ki Sambangdalan
kembali seperti ke ujud semula. Jun tempat wudhu tiba-tiba penuh dengan air
tanpa ada yang mengisinya. Ketiga orang itu akhirnya belajar dengan tekun ilmu
syariat dan hakikat agama Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga yang diberi gelar
Guru se-Tanah Jawa.
Akhirnya mereka dapat mencapai tataran yang tinggi
berkat ketekunan dan kesabarannya. Ki Pandhanarang menjadi seorang wali dan
disebut dengan gelar Sunan Bayat karena menyebarkan agama Islam di daerah
Bayat. Sementara Ki Sambangdalan juga menjadi seorang wali dan disebut sebagai
Syekh Domba karena kepalanya pernah menjadi domba.
Sunan Kalijaga memang sengaja menyadarkan Bupati
Semarang tersebut untuk menjadi pengganti Syekh Siti Jenar yang telah dihukum
mati karena dianggap sesat dan berlawanan dengan ajaran Walisongo. Setelah
menjadi wali Ki Pandhanarang atau Sunan Bayat mempunyai beberapa karomah,
diantaranya adalah pada suatu ketika ia menyamar sebagai pelayan tukang pembuat
kue srabi. Ikut berdagang ke pasar sambil membawakan kayu bakar. Pada suatu
hari pasar sangat ramai banyak orang membeli kue srabi, karena laris kayunya
habis. Majikannya marah-marah karena Sunan Bayat tidak membawa kayu yang banyak
sehingga tidak cukup digunakan melayani para pembeli.
“Kau teledor! Sekarang bagaimana? Apakah tanganmu
itu dapat kau gunakan sebagai pengganti kayu bakar?”, hardik si majikan.
Tanpa pikir panjang lagi Sunan Bayat memasukkan
tangannya ke dalam tungku dapur dan tangan itu menyala-nyala mengeluarkan api.
Gemparlah hari itu. Banyak orang melihat dengan kepala mata mereka sendiri,
tangan Sunan Bayat yang masuk ke dalam tungku itu mengeluarkan api. Dan banyak
pula orang yang membeli kue srabi.
Setelah tahu bahwa pelayannya adalah Sunan Bayat
mantan bupati Semarang maka penjual kue srabi itu minta ampun berkali-kali,
akhirnya suami istri penjual kue srabi itu menjadi pengikut Sunan Bayat yang
setia.
6. Sunan Kudus
Asal-usul
Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putra
Raden Usman haji bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang
mengatakan letak Jipang Panolan ini sebelah utara kota Blora. Di dalam Babad
Tanah Jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak
Bintoro yang berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati
Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam
pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung
gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian
digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri yang bernama asli Ja’far
Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun
melalui siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka (persenjataan) dari Raden
Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya
berimbang. Keadaan ini tentu bukan semata-mata berkat siasat Sunan Kalijaga dan
bantuan pusaka Raden Patah, tetapi karena izin Allah, siasat itu dapat merubah
keadaan peperangan itu.
Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan
Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati
Terung yang memimpin lasykar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden
Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati
Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara
Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh
pasukan Demak.
Guru-gurunya
Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.
Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.
Nama asli kiai Telingsing adalah The Ling Sing, beliau
adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke pulau Jawa bersama
Laksamana Jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah. Jenderal
Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa untuk menjalin tali
persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.Di Jawa, The Ling
Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah
subur yang terletak di antara sungai Tanggulangin dan Sungai Juwana sebelah
timur. Di sana beliau bukan hanya mengajar agama Islam, melainkan juga
mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kiai
Telingsing, termasuk Raden Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada
ulama yang berasal dari Cina itu, Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat
positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau
mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden
Ja’far Sodiq di masa selanjutnya yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang
kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada
Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
CARA BERDAKWAH YANG LUWES
A. Strategi Pendekatan Kepada Massa
A. Strategi Pendekatan Kepada Massa
Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan Sunan Kalijaga
dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai
berikut:
Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama
yang sukar diubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan
atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam
tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang
terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi
sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya
mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara
keras di dalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan
tetapi tidak mengeruhkan airnya.
Pada akhirnya boleh saja merubah dan kepercayaan
masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak
menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal
imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat
dan tertarik pada ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali
melaksanakan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan
ajaran Islam secara konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara
lengkap otomatis tingkah laku dan gerak gerik mereka sudah merupakan dakwah
nyata yang dapat memikat masyarakat non muslim.
Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga,
Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Karena siasat
mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel
maka mereka disebut Kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel
yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran
Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat
yang berbeda itu pada akhirnya dapat dikompromosikan.
B. Merangkul Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli
seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal
dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar. Sapi itu
ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus.
Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu
tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Sunan Kudus terhadap
sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan
para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu
apa yang akan dilakukan Sunan Kudus?
Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan
masyarakat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu
berarti Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri.
Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus
dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah
jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam
rumahnya.
“Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak
kadang yang saya cintai”, Sunan Kudus membuka
suara. “Saya melarang sauadara-saudara menyakiti apalagi menyembelih
sapi. Sebab di waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya,
hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya”.
Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu
terkagum kagum. Mereka menyangka Raden Ja’far Sodiq itu adalah titisan Dewa
Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. “Demi rasa hormat
saya kepada jenis hewan yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang
penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih Sapi!”
Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu. Sunan
Kudus melanjutkan,”Salah satu di antara surat-surat di dalam Al Qur’an yaitu
surat kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah”, kata
Sunan Kudus.
Masyarakat makin tertarik. Kok ada Sapi di dalam Al
Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus
sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan
akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama
Islam.
Bentuk Masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak
jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang
antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena
keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa
akrab dan tidak merasa takut atau segan masuk ke dalam masjid guna mendengarkan
ceramah Sunan Kudus.
C. Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan bersifat tidak memaksa.
Sesudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan bersifat tidak memaksa.
Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan
atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing
pancuran diberi arca Kepala Kebo Gumarang di atasnya. Hal ini disesuaikan
dengan ajaran Budha “Jalan berlipat delapan” atau “Asta Sanghika Marga”, yaitu:
1. Harus memiliki pengetahuan yang benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak umat Budha
yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di
padasan atau tempat berwudhu. Sehingga mereka berdatangan ke masjid untuk
mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
D. Selamatan Mitoni
Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti diketahui, rakyat Jawa yang melakukan adat
istiadat yang aneh, yang kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya
berkirim sesaji di kuburan untuk menunjukkan belasungkawa atau berduka cita
atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni, dan
lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan
berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami.
Hal ini dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Contohnya, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga
bulan maka akan dilakukanlah acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta
kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika
anakanya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan
Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus
dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan
bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa
pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan bila anaknya
lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan
seperti Siti Mariam ibunda Nabi Isa a.s. Untuk itu sang ayah dan ibu perlu sering-sering
membaca surat Yusuf dan surat Mariam dalam Al Qur’an.
Sebelaum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah
pembacaan Layang Ambiya’ atau sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah
bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya’ yang berbentuk
tembang Asmaradana, Pucung, dan lain-lain itu masih hidup di kalangan
masyarakat pedesaan.
Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat
sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian diikrarkan (dihajatkan) oleh sang
dukun atau tetua masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya
tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau di
tempat-tempat sunyi di lingkungan tuan rumah.
Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan
Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam
maupun yang Hindu dan Budha ke dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat
Sunan Kudus yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama
tiga bulan.
Sebelum masuk masjid, rakyat harus membasuh kaki dan
tangannya di kolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan
kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan
Hindu. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan
syariat berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa
sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.
Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang
masyarakat lagi. Kali ini masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kainya waktu
masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong
memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam
agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi
dengan cukup cerdik, yaitu ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya kepada
keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikawatirkan
mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah
letak segi positifnya, yaitu rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan
pada kesempatan lain mereka datang lagi ke Masjid, baik dengan undangan maupun
tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada
syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih
dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus
kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya.
Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara
langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian,
beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di
dalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.
4. SUNAN KUDUS DI NEGERI MEKAH
Di dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.
Di dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.
Sewaktu berada di Mekah beliau menunaikan ibadah haji.
Dan kebetulan di sana ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri
Arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu
akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
Sudah banyak orang mencoba tak pernah berhasil. Pada
suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq mengahadap penguasa negeri itu tapi
kedatangannya disambut dengan sinis.
“Dengan apa tuan melenyapkan wabah penyakit itu?” tanya sang Amir. “Dengan doa”, jawab Ja’far Sodiq
singkat.“Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya. Tapi mereka
tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini”
“Saya mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para
ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak
terkabulkan”, kata Jakfar Sodiq.
“Hem, sungguh berani tuan berkata demikian”, kata Amir itu dengan nada berang. “Apa kekurangan mereka?”.“Anda
sendiri yang menyebabkannya”, kata Jakfar Sodiq dengan
tenangnya. “Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati
mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharap
hadiah”. Sang Amir pun terbungkam atas jawaban itu.
Jakfar Sodiq lalu dipersilakan melaksanakan niatnya.
Kesempatan itu tidak disia-siakan. Secara khusus Jakfar Sodiq berdoa dan
membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri
Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara
mendadak langsung sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai
menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikannya kepada
Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu yang
berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke
tanah Jawa, dipasang di pengimaman masjid Kudus yang didirikannya sekembali
dari Tanah Suci.
Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang
beragama Hindu dan Budha. Para Wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah
yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di
daerah itu. Karena Masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar
Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
5. TUGAS SEBAGAI SENOPATI
Malam hitam pekat, udara musim kemarau terasa sangat dingin menusuk tulang. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebab malam itu terdengar auman harimau sambung-menyambung, terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan memangsa hewan ternak mereka.
Malam hitam pekat, udara musim kemarau terasa sangat dingin menusuk tulang. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebab malam itu terdengar auman harimau sambung-menyambung, terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan memangsa hewan ternak mereka.
Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk
kampung. Para penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan
untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan yang sudah mereka kenal selama ini
ada harimaunya.
Dengan senjata siap di tangan mereka siap menghadapi
segala kemungkinan. Di tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan,
melainkan tujuh orang santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung
berwibawa.“Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini?” tanya
tetua desa. “Tidak”, jawab lelaki berjubah putih itu.“Semalam
kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau pun”. “Aneh,
semalaman kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus”, gunam
tetua desa. “Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau
mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada Sima”, kata lelaki
berjubah putih.
Tetua desa itu menurut, hingga sekarang tempat lelaki
berjubah putih bermalam itu dinamakan desa Sima. Lelaki berjubah putih itu
kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo
Kenanga atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Pagi itu udara masih terasa menggigit tulang. Seiring
dengan langkah lelaki berjubah putih dan tujuh orang pengikutnya yang makin mendekati
ujung desa Pengging tiba-tiba di udara nampak dua ekor gagak terbang sambil
mengeluarkan suara khasnya.
Adanya suara burung gagak adalah lambang kematian,
berarti akan ada sosok manusia yang dicabut nyawanya oleh Sang Malaikat Maut.
Siapakah orang yang bakal mati hari ini? Siapa pula orang berjubah putih yang
nampak agung dan berwibawa itu? Mengapa tujuh orang santri terus mengikutinya
dari belakang? Apa tujuan mereka ke desa Pengging? Pengging atau Pajang pada
beberapa tahun silam bukanlah sebuah desa terpencil. Pengging adalah sebuah
Kadipaten yang sangat terkenal karena Adipati Handayaningrat yang memimpin
adalah Putra Prabu Brawijaya Penguasa Majapahit.
Adipati Handayaningrat mempunyai dua orang putra
lelaki. Yang pertama bernama Kebo Kanigara, yang kedua Kebo Kenanga. Ketika
sang Adipati meninggal dunia, Kebo Kanigara mengembara tak ketahuan rimbanya.
Sedang Kebo Kenanga masuk Islam menjadi murid Syekh Siti Jenar. Tenggelam dalam
alur faham Siti Jenar sehingga pikirannya berubah. Tak mau mengurus lagi
Kadipaten warisan orang tuanya. Ia malah mengajak rakyatnya untuk hidup wajar
sebagai petani biasa.
Sungguh mengagumkan. Hasil panen para petani Pengging
kemudian tersebar ke penjuru desa lainnya. Bahkan menggetarkan dinding-dinding
istana Demak Bintoro, karena Ki Ageng Pengging tak pernah sowan menghadap Sri
Sultan. Dan tentu saja tak pernah menyerahkan upeti pertanda setia dan tetap
tunduk kepada Demak Bintoro.
Karena itu Raden Patah segera mengutus dua perwira
utama untuk menengok Ki Ageng Pengging. “Ki Ageng”, kata utusan itu setelah
tiba di hadapannya. “Sudah dua tahun Andika tidak menghadap Gusti Sultan Demak.
Kami diperintahkan mengingatkan Andika, sebab Gusti Sultan sudah sangat
merindukan kehadiran Andika selaku saudaranya”.
Ki ageng Pengging menatap dua orang utusan itu dengan
tajam. “Buat apa seorang petani desa menghadap Sri Sultan? Hanya bikin
malu Sri Sultan saja. Hai utusan kembali-lah dan katakan kepada Sri Sultan aku
tak dapat memenuhi panggilannya. Mohonkan ampun atas sikapku ini”.
Dua orang utusan itu segera kembali ke istana Demak.
Tak berapa lama kemudian Ki Ageng Pengging memanggil dalang wayang beber.
Selepas shalat Isya’ dalang pun segera memainkan lakon wayangnya. Penduduk
berduyun-duyun menyaksikan pertunjukan gratis itu.
Ketika hampir muncul fajar sidik di ufuk timur.
Tiba-tiba istri Ki Ageng Pengging menggerang kesakitan. Ia merasa si jabang
bayi akan segera lahir. Ki Ageng Pengging segera memerintahkan Ki Dalang untuk
mengakhiri pertunjukannya. Orang-orang pun segera sibuk menolong istri Ki Ageng
Pengging. Ternyata yang lahir adalah laki-laki yang elok rupanya.
Ki Ageng Tingkir berkata kepada adik
seperguruannya. “Adimas, karena anakmu lahir bertepatan dengan
pagelaran wayang beber maka anakmu kuberi nama Karebet”.
“Terima kasih atas kesediaan memberi nama anak ini”, ujar Ki Ageng Pengging. “Mudah-mudahan dia dapat meniru
kegagahan dan watak satria Kakang”. Ki Ageng Tingkir turut bergembira atas
kelahiran putra adik seperguruannya itu. Selama tiga hari ia menunggui
kelahiran bayi itu di Pengging. Sementara itu, Raden Patah mengatur siasat. Dua
orang utusannya telah gagal memanggil Ki Ageng Pengging. Sekarang dia mengutus
Ki Wanapala untuk memanggil Ki Ageng Pengging.
Ki Wanapala adalah bekas Mahapatih Demak Bintoro yang
sudah mengundurkan diri. Kedudukannya telah digantikan anaknya sendiri. Namun
ia masih sering datang ke istana Demak jika diperlukan Raden Patah untuk
dimintai pertimbangan.
Namun patih senior ini juga tak mampu menjinakkan
sikap Ki Ageng Pengging, ia pulang dengan tangan hampa.
Ki Wanapala tak berpanjang kata. Ia segera kembali ke
Demak. Melaporkan segala apa yang didengarnya. Sri Sultan setuju atas keputusan
Ki Wanapala memberi tenggang waktu selama tiga tahun.
Namun ketika tiga tahun lewat Ki Ageng belum menghadap
ke Demak juga. Atas nasehat para Wali, maka Sri Sultan mengirim utusan ketiga.
Yang ditugaskan kali ini adalah Sunan Kudus. Tugas kali ini harus tuntas.
Karena Sunan Kudus yang terkenal memiliki ilmu logika tinggi dan beribu ilmu
kesaktian itu terpilih menangani masalah ini. Sri Sultan tak perlu mengirim
utusan keempat lagi.
Walaupun Sunan Kudus itu Panglima Perang Demak, tetapi
para Wali melarangnya menggunakan baju dan seragam militernya. Sunan Kudus
disarankan agar memakai pakian jubah putih sebab yang dihadapinya adalah
seorang santri desa.
Berangkatlah Sunan Kudus dengan iringan tujuh prajurit
Demak pilihan yang juga menyamar sebagai para santri biasa.
Tiga tahun memang telah berlalu dengan cepatnya. Ki
Ageng Pengging tidak pernah menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang
dulu pernah mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat
tidak diurus lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam
dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar.
Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging
itu tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajuritnya
masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan keperwiraannya di balik baju
petani. Tetapi sewaktu-waktu mereka bisa digerakkan jika diperlukan oleh Ki
Ageng Pengging.
Hal ini disadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro.
Itu sebanya Sri Sultan memilih Sunan Kudus untuk menggali sang pembangkang
yaitu Ki Ageng Pengging ini.
Suasana Kadipaten Pengging benar-benar lengang. Pagi
itu penduduk banyak yang pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau
istana Kadipaten tidak kelihatan. Di pusat bekas pemerintahan Adipati
Handayaningrat itu kini hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar.
Bentuknya seperti rumah penduduk lainnya.
Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya
menunggu di ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging.
Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti
sudah dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya
yang dibunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende itu dipukul
bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak mengeluarkan
auman harimau berarti akan menemui kegagalan.
Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang
pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan
maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging. “Maaf tuan, sudah
beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa
menemui tamu”, kata pelayan itu. “Aku bukan tamu biasa”, kata
Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus.
Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging”. Pelayan itu masuk ke dalam rumah
menyampaikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng
bersedia menerima tamunya.
Sunan Kudus dipersilakan masuk ke dalam rumahnya.
Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormati tamu khusus itu.
Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
“Wahai Ki Ageng, saya diperintah oleh Sultan Demak
Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di luar atau di dalam? Di atas atau di
bawah?”, tanya Sunan Kudus. Ki Ageng Pengging menghela
nafas, tiga tahun yang lalu dia juga diberi pertanyaan serupa oleh Ki
Wanasalam, patih Demak Bintoro. “jawabanku tetap sama dengan tiga tahun
yang lalu”,kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah, luar-dalam adalah
milikku. Aku tak bisa memilihnya”.
Jawaban itu bagi Sunan Kudus adalah sangat jelas.
Berarti Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan
Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia
tidak mau mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya.
Kasarnya pemberontak!
Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar,
gurunya itu sudah dihukum mati karena kesesatannya, Sunan Kudus ingin
mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syeikh Siti Jenar
itu atau sudah meninggalkannya sama sekali.
“Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di
dalam mati dan mati di dalam hidup”, kata Sunan
Kudus.“Benarkah apa yang saya katakan itu? Saya ingin melihat buktinya”.
“Memang begitu!”, jawab
Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa saja aku ini maka aku akan menurut
apa yang kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini
raja, memang aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat,
dan kau anggap aku ini Allah aku memang Allah!”
Klop sudah! Ki Ageng Pengging masih memegang teguh
ajaran Syekh Siti Jenar yang berfaham Wihdatul Wujud atau berfilasafat serba
Tuhan. Faham itu adalah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para wali,
sehingga Syekh Siti Jenar dihukum mati.
Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh
Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak
mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki
Ageng Pengging dengan jalan diplomasi.
“Seperti pengakuan Ki Ageng, bahwa Ki Ageng dapat mati
di dalam hidup. Saya ingin melihat buktinya”. “Jadi
itukah yang dikehendaki Sulatan Demak?. Baiklah, tidak ada orang mati tanpa
sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku. Bagiku hidup dan mati tidak ada
bedanya”. Ki Ageng Pengging berhenti sejenak, menatap dalam-dalam wajah
Sunan Kudus. “Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang
mati”. Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng. Ki Ageng menghela nafas
panjang. “Tusuklah siku lenganku ini….!”, ujar Ki Ageng
membuka titik kelemahannya. Sunan Kudus pun melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk
dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng Pengging.
Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging
dengan langkah tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka
berjalan menuju Demak Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang
hendak menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati
di ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu
pemimpinnya dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar
Sunan Kudus.
200 orang bekas prajurit dan perwira dipimpin bekas
Senopati Kadipaten Pengging mencabut senjata dan berteriak-teriak memanggil
Sunan Kudus dari kejauhan.
Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima.
Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang berlarian ke arah timur.
Orang-orang Pengging mengejar ke arah timur, padahal Sunan Kudus dan
pengikutnya berada di sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit
itu lenyap. Orang Pengging kebingungan, tak tahu hars berbuat apa. Akal mereka
seperti hilang.
Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya
mereka disadarkan kembali dengan pengerahan ilmunya.“Jangan turut campur
urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan selama tiga tahun. Tapi
dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak
memberontak! Nah, kalian rakyat kecil, tak ada hubungannya dengan urusan ini.
Pulanglah!”
Suara Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung
perbawa kuat. Penduduk Pengging itu seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang
mereka hadapi adalah seorang Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai
seribu satu macam kesaktian. Mereka tak kan mampu menghadapinya.
“Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat
kesia-siaan ini”, kata Sunan Kudus. “Segeralah kalian urus
jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian”
Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan lain.
Akhirnya mereka kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin
mereka. Sunan Kudus dan tujuh pengikutnya segera kembali ke Demak.
Cita-cita Ki Ageng Pengging agar anak turunannya menjadi
Raja ternyata kesampaian. Anaknya yang bernama Keberet itu diambil anak angkat
oleh Ki Ageng Tingkir dan setelah dewasa bernama Jaka Tingkir. Jaka Tingkir
inilah yang bakal memindahkan pusat pemerintahan Demak ke desa Pengging atau
Pajang.
BERSAMBUNG ..................................
( ADI, 3 SEPT 2017 )
Jaka tingkir menikahi bidadari kahyangan. Lalu anak cucunya jadi sultan di Pajang, Surakarta dan Yogyakarta. Berturun turun jadi pejabat negara setingkat menteri dan presiden antara lain Soekarno, Megawati, Gusdur dan Jokowi.
BalasHapus