Senin, 23 Maret 2015

HARI AIR SEDUNIA


 HARI AIR SEDUNIA




KIM KELURAHAN GENTONG  PROGRAM LINGKUNGAN HIDUP
Catatan Hari Air Sedunia 22 Maret 2015

Masyarakat internasional telah menetapkan tanggal 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia. Momentum tersebut tentu memiliki makna penting, sebab disatu sisi dapat mengingatkan semua pihak bahwa air sangat vital bagi kelangsungan kehidupan di bumi, dan  pada sisi yang lain, air bisa menjadi sumber ancaman yang serius bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kelangkaan serta degradasi kualitas air yang terjadi akibat degradasi lingkungan hidup memang bisa memicu munculnya berbagai bencana, seperti kelangkaan pangan, mewabahnya aneka macam penyakit, dan sebagainya. Sementara pada saat bersamaan, juga terjadi  banjir, rob, tanah longsor, dan sebagainya yang menjadi indikasi kegagalan manusia dalam mengelola air secara bijak.


Catatan Hari Air Sedunia 22 Maret 2015

Masyarakat internasional telah menetapkan tanggal 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia. Momentum tersebut tentu memiliki makna penting, sebab disatu sisi dapat mengingatkan semua pihak bahwa air sangat vital bagi kelangsungan kehidupan di bumi, dan  pada sisi yang lain, air bisa menjadi sumber ancaman yang serius bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kelangkaan serta degradasi kualitas air yang terjadi akibat degradasi lingkungan hidup memang bisa memicu munculnya berbagai bencana, seperti kelangkaan pangan, mewabahnya aneka macam penyakit, dan sebagainya. Sementara pada saat bersamaan, juga terjadi  banjir, rob, tanah longsor, dan sebagainya yang menjadi indikasi kegagalan manusia dalam mengelola air secara bijak.
Saat ini, permasalahan tersebut  sudah kerap terjadi di Indonesia.  Kelangkaan air saat  air hujan berkurang, sering melanda  di beberapa wilayah di tanah air. Sedangkan saat musim hujan, peningkatan air justru membawa petaka dengan munculnya banjir di kawasan yang dulu tidak pernah mengalami kebanjiran seperti kawasan Palangkaraya dan Samarinda.

Sementara akibat eksploitasi air tanah secara berlebihan masyarakat yang tinggal di sejumlah kota besar pinggir pantai seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya, kini menghadapi ancaman intrusi air laut, yang masuk hingga ke dalam sumur-sumur penduduk. Kelangkaan air ini tentu bisa jadi memunculkan pertentangan di kalangan masyarakat yang dapat memicu pertikaian warga.

Risiko ini semakin besar jika distribusi air tidak dilakukan dengan baik. Masalah alam yang terlihat sederhana dapat menimbulkan petaka bila tidak ditangani dengan cermat. Jika dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk, maka masalah pencemaran air paling mungkin terjadi. Pengalaman naiknya derajat keasaman pada musim kemarau dan diikuti munculnya hujan asam menyebabkan terganggunya binatang air tawar dan percepatan korosi.

Hak Publik
Sedemikian vitalnya fungsi air bagi kehidupan manusia, maka sejak awal, hak atas air ditempatkan setara dengan hak asasi manusia. Pengakuan atas hak-hak dasar tersebut tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 yang menyatakan "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ". Dengan demikian, negara bertanggung jawab menjamin penyediaan air yang  bagi setiap individu warga negara.  Adanya hak  publik atas air, juga telah diakui pada tingkat internasional karena telah ditegaskan  dalam ECOSOC DECLARATION (Deklarasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya) PBB pada bulan November 2002.

Tapi di Indonesia, hak publik atas air tersebut, kini sedang terancam oleh adanya agenda privatisasi dan komersialisasi air. Pers memberitakan, puluhan sumber air di kawasan Kabupaten Sukabumi misalnya, sudah dikuasai oleh swasta. Sementara penduduk setempat mulai terganggu oleh kelangkaan persediaan air bersih.

Jika ditelusuri, kebijakan privatisasi dan komersialisasi air yang kini berlaku di Indonesia, sebenarnya merupakan bagian dari agenda kapitalis internasional. Sebab kebijakan tersebut lahir karena didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional (World Bank, ADB, dan IMF). Kebijakan ini, tidak hanya berlaku bagi Indonesia tapi juga di sejumlah negara sebagai persyaratan pinjaman.

Karena itu dalam kebijakan tersebut terdapat  kepentingan kapitalis global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air bersih (PDAM) milik pemerintah. Jadi masalah, Indonesia langsung merespon permintaan tersebut dengan senang hati.  Ini tercermin dari terbitnya   Undang-undang Sumber Daya Air yang disahkan pada  19 Februari 2004, sebagai  bagian dari persyaratan pencairan pinjaman program WATSAL dari World Bank.

Mekanisme Pasar
Beberapa pasal dalam UU tersebut memang membuka peluang  privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu. Implikasi dari kebijakan privatisasi ini, maka  jaminan pelayanan hak dasar bagi rakyat banyak akhirnya  ditentukan oleh swasta  dengan mekanisme pasar.

Air yang sejatinya memiliki fungsi sosial kini telah berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Dalam pengelolaan  air paradigma yang dikembangkan oleh World Bank memang bertumpu pada prinsip komodifikasi semua sektor, termasuk yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Bagi World Bank, manajemen sumberdaya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai "komoditas ekonomis" dan " partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan hasil yang efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan".   (World Bank, 1992).  Privatisasi air akan meliputi jasa penyediaan air di perkotaan, maupun pengelolaan sumber-sumber air di pedesaan oleh swasta.

Mengenai “harga air” di Indonesia, menurut World Bank, air yang diperoleh masyarakat saat ini masih berada di bawah "harga pasar. " Karena itu perlu dinaikkan.  Baik World Bank dan ADB dalam "Kebijakan Air"-nya mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi apa yang disebut sebagai Full Cost Recovery.  Artinya,  konsumen  harus membayar harga yang mencakup semua biaya yang dikeluarkan.  Dengan demikian privatisasi, sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air. 

Celakanya, yang paling menderita dampak kebijakan privatisasi justru kelompok masyarakat miskin. Dengan kenaikan tarif tersebut, mereka kian kehilangan akses terhadap air. Dalam jangka panjangm kebijakan tersebut juga mengancam “kedaulatan rakyat” atas pangan. Sebab jika  air, sebagaimana yang diinginkan oleh World Bank dan ADB, diperlakukan sebagai komoditas ekonomis dan pihak yang mendapatkan air ditentukan atas dasar keuntungan ekonomis semata, maka  ke depan hal sama juga diberlakukan di semua sektor, termasuk sektor pertanian.

Kalangan aktivis yang menolak privatisasi air telah berulangkali memaparkan akan adanya bahaya dari kebijakan tersebut. Salah satu yang jadi sorotan mereka adalah, kebijakan  Pemerintah Daerah Jawa Barat pada tahun 2002 yang dalam  Peraturan Daerah (Perda) mengenai Irigasi yang baru, telah mengadopsi  penerapan "cost recovery"  kepada petani atas penggunaan air irigasi. Sektor pertanian akan semakin mahal bagi petani dengan diterapkannya tarif atas air irigasi.

Kembalikan Hak Publik
Untuk menopang privatisasi air, kini penjualan air kemasan kian ditingkatkan, terutama sebagai solusi atas terjadinya  penurunan kualitas air. Ketergantungan masyarakat  terhadap swasta tentu kian menguat. Realitas ini sangat ironis karena penguasaan publik atas air  pada dasarnya merupakan harkat dari semua kehidupan dan manusia sangat membutuhkan air untuk hidup.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Sebagaimana air dan bumi seisinya dikuasai negara, maka pihak yang terkait dengan pengelolaan dan penyediaan air negara seyogyanya memperhatikan masalah air. Diperlukan profesionalisme dan kedewasaan dalam pengelolaan air untuk mendukung pembangunan di Indonesia yang berkelanjutan.  Namun lebih penting dari semua itu adalah pengelolaan air seyogyanya dikembalikan pada jalur yang tepat sesuai amanat UUD 1945, yang tegas menjamin hak-hak publik atas air. (LS2LP) Sumber: Suara Akar Rumput Edisi 105

Oleh:
PAULUS LONDO
Pemerhati Sosial pada LS2LP (Lembaga Studi Sosial, Lingkungan & Perkotaan)



UU No. 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik


Mulai 30 April mendatang, semua badan publik wajib membuka akses informasi kepada publik. Ini adalah amanat Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya: UU-KIP) yang mulai berlaku tanggal 30 April 2010. Pemberlakukan UU-KIP tersebut tentu menimbulkan berbagai konsekuensi hukum. Baik bagi badan-badan publik sebagai sumber informasi maupun bagi publik selaku pengguna informasi.

Dengan demikian, tak ada alasan apa pun bagi badan publik membatasi akses publik memperoleh informasi, terutama mengenai kebijakan-kebijakan yang berdampak bagi kehidupan publik, atau hajat hidup orang banyak.  Pada Pasal  64  ayat (1) UU-KIP ditegaskan bahwa dua tahun setelah diundangkan, undang-undang ini dinyatakan berlaku. Dan pada ayat (2) dijelaskan bahwa  penyusunan dan penetapan Peraturan Pemerintah, Petunjuk Teknis, sosialisasi, sarana dan prasarana pelaksanaan undang-undang ini  harus rampung paling lambat 2(dua)  tahun sejak undang-undang ini diundangkan.
Informasi publik memang merupakan hak publik, dan karenanya mesti dibuka kepada publik. Artinya, masyarakat diberi kemudahan untuk mendapatkan informasi yang lengkap, utuh dan akurat terutama berkaitan dengan kebijakan yang berdampak bagi kehidupan masyarakat luas. Dengan akses informasi yang lengkap, utuh dan akurat, diharapkan dapat mendorong partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan kenegaraan, sehingga kualitas demokrasi di negeri ini kian meningkat.
Di sisi lain, dengan adanya UU-KIP, pengelolaan informasi publik memiliki rambu-rambu yang pasti, sekaligus menegaskan tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat di dalamnya.
UU-KIP memang hal baru dalam kehidupan bernegara. Karena itu, semua pihak mesti berbenah diri. Jika selama ini banyak Badan Publik tidak terbuka, atau membatasi akses publik terhadap informasi yang seharusnya diketahui publik atau masyarakat maka dengan berlakunya UU tersebut, badan-badan tersebut bakal berhadapan dengan hukum. Sebab, informasi hak dasar masyarakat dilindungi hukum.
Sebaliknya, bagi  Badan Publik yang memberikan informasi tentu juga memiliki hak mendapatkan perlindungan hukum. Selama ini, badan-badan publik, atau instansi pemerintahan pada level tengah memang kerap menghadapi dilema, dan serbah salah. Terlalu terbuka kepada publik, bisa dipersalahkan oleh atasan. Di pihak lain, menutup-nutupi informasi yang memiliki implikasi bagi kehidupan publik, bisa diprotes masyarakat, bahkan bisa memancing unjuk rasa.

Informasi Lingkungan Hidup
Salah satu informasi publik yang patut diketahui khalayak jelas adalah informasi tentang lingkungan hidup. Hal ini tidak hanya penting untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), akuntabel dan transparan, sebagai prasyarat terciptanya partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan, tapi lebih penting dari itu adalah untuk menyelamatkan manusia dari ancaman bencana. 
Pada skala internasional, sebenarnya keterbukaan informasi telah diakui sebagai salah satu prinsip yang bersifat mutlak dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang berbasis tata kelola lingkungan yang baik  (Good Sustainable Development Governance GSDG).
Terjadinya degradasi lingkungan yang luar biasa di Indonesia adalah akibat pola salah urus pembangunan selama ini. Dan itu diperparaha oleh terbatasnya akes publik terhadap informasi lingkungan. Bencana ekologi yang terjadi selama ini,  hendaknya tidak lagi dilihat sebagai akibat aktivitas alam, tetapi akibat ulah manusia yang bisa saja terjadi karena tidak memperoleh informasi lingkungan hidup yang benar, akurat dan lengkap.
Karena itu, jika selama ini  konsep pembangunan berkelanjutan diyakini sebagai suatu prinsip yang memperhatikan daya dukung lingkungan, dan menjamin masa depan kehidupan manusia, maka penerapan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas menjadi sangat penting.  Selama ini aktualisasi dari  prinsip-prinsip tersebut secara efektif memang belum mampu menjawab permasalahan tingginya laju degradasi lingkungan. Karenanya negara selaku pelaku mesti  bertanggungjawab atas terjadinya bencana ekologi yang kian massif.
Sesungguhnya, Kementerian Lingkungan Hidup telah berulangkali mengingatkan akan pentingnya keterbukaan informasi bagi publik, terkait dengan meningkatnya bencana lingkungan di tanah air. Karena itu, beberapa tahun silam, Kementerian Lingkungan Hidup bersama  Indonesia Center for Enviromental Law (ICEL) menerbikan buku berjudul “Menutup Akses, Menuai Bencana, Potret Pemenuhan Akses Informasi, Partisipasi dan Keadilan  dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam di Indonesia,”  untuk menjelaskan kepada seluruh masyarakat bahwa keterbukaan merupakan hal yang amat mendasar dalam mengatasi permasalahan lingkungan dewasa ini.
Pada peluncuran buku tersebut, 28 Pebruari 2008 di Jakarta Rino Subagyo SH, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), menjelaskan ada 3(tiga) akses merupakan prasyarat penting yang harus diberikan oleh negara dalam pengambilan  kebijakan pembangunan, khususnya yang berdampak kepada lingkungan dan masyarakat rentan. Tiga akses itu adalah:
a.    Akses informasi (access to information) adalah hak setiap orang untuk memperoleh  informasi yang utuh (full) akurat   (accurate) dan mutakhir (up to date).
b.    Akses partisipasi dalam pengambilan keputusan (access to participation in decision making)  adalah pilar demokrasi yang  menekankan  pada jaminan hak  untuk berpartisipasi  dalam proses pengambilan keputusan.
c.   
Akses keadilan (access to justice) adalah akses untuk memperkuat kedua akses tadi.
Menurut Rino Subayo tiga akses itu telah diakui dalam Prinsip 10 Deklarasi Rio hasil KTT Bumi (Earth Summit) 1992 di Rio de Janeiro. Sayangnya, temuan di lapangan menunjukkan indikasi belum terpenuhinya akses-akses yang dibutuhkan masyarakat tersebut. Padahal terlihat jelas adanya keterkaitan antara persoalan lingkungan dan bencana ekologi selama ini dengan  tidak terpenuhinya akses masyarakat terhadap informasi,  partisipasi dan tidak terpenuhinya akses keadilan masyarakat atas lingkungan, hidup yang sehat.
Masalahnya, meski konstitusi sudah menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, untuk menyediakan peluang berpartisipasi dan mendapatkan keadilan, namun peraturan perundang-undangan dibawahnya belum jelas dan tegas mengatur ketiga hal tersebut. Selain itu juga masih terdapat kendala bagi masyarakat  dalam mengakses informasi lingkungan dari pemerintah, yang terkait perizinan, AMDAL dan informasi yang terkait kondisi pentaan dan penegakan hukum lingkungan suatu perusahaan.
Tidak adanya informasi lingkungan yang memadai seperti inilah yang  mengakibatkan masyarakat tidak dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut perlindungan lingkungan dan keselamatan dirinya.
Demikian pula belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas tentang mekanisme penyelesaian sengketa dan penjatuhan sanksi bagi pejabat publik yang tidak memberikan akses informasi dan partisipasi pada masyarakat dalam hal ini jelas ditunjukan dengan tidak adanya satupun klaim atas gugatan masyarakat akibat adanya penolakan informasi dan partisipasi.
Jika menyimak materi UU-KIP, terlihat besarnya semangat untuk membuka ketiga akses tersebut, melalui keterbukaan informasi publik. Karena itu, UU tersebut memberikan perspektif baru yang positif dalam pengelolaan masalah lingkungan hidup. Sebagai sesuatu yang baru implementasi UU-KIP tentu masih perlu penyempurnaan agar kian efektif berfungsi.
Keterkait dengan itu, maka ada baiknya jika dalam penyempurnaan tersebut perlu memperhatikan kembali beberapa rekomendasi yang disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan ICEL yakni antara lain, mempertegas dan memperjelas aturan hukum terkait pemenuhan hak akses informasi, hak untuk berpartisipasi dan hak untuk mendapatkan keadilan, melakukan pembaruan kebijakan yang fokus pada upaya  yang menjembatani kesenjangan antara jaminan hukum dengan praktek pelaksanaannya dilapangan.
Selain itu Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah perlu melakukan penilaian dan pengawasan terhadap kinerjanya sendiri dengan menggunakan indikator yang obyektif dan terukur sementara kelompok-kelompok kepentingan masyarakat, khususnya media masa dan Ornop memiliki peran yang penting dalam mendorong dan memfasilitasi pemenuhan tiga akses tersebut.
Paulus Londo.

Sumber: Suara Akar Rumput Edisi 105

Lingkungan hidup

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Lihat pula: Lingkungan
Banyak perhatian dicurahkan untuk mempertahankan lingkungan alami Air Terjun Hopetoun, Australia, sembari mengijinkan pengunjung untuk menikmatinya.
Bachalpsee di Pegunungan Alps Swiss; biasanya daerah bergunung-gunung lebih jarang dicemari oleh aktivitas manusia.
Lingkungan hidup, sering disebut sebagai lingkungan, adalah istilah yang dapat mencakup segala makhluk hidup dan tak hidup di alam yang ada di Bumi atau bagian dari Bumi, yang berfungsi secara alami tanpa campur tangan manusia yang berlebihan.
Lawan dari lingkungan hidup adalah lingkungan buatan, yang mencakup wilayah dan komponen-komponennya yang banyak dipengaruhi oleh manusia.

enam masalah lingkungan hidup

Celoteh pada 9 August 2009 dalam topik celoteh [ Print This Post] - 5,395 views    
tulisan lama di BBC tentang bumi yang berada dalam tekanan. setidaknya ada enam permasalahan lingkungan hidup yang harus ditemukan jawabannya.
  • Makanan: diperkirakan 1 dari 6 orang di dunia menderita kelaparan dan gizi buruk
  • Air: diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga orang di dunia akan mengalami krisis air yang parah
  • Energi: produksi minyak bumi mencapai puncaknya dan mulai menurun pada tahun 2010
  • Perubahan Iklim: tantangan terbesar adalah perubahan iklim, ang menyebabkan meningkatnya badai, banjir, kekeringan dan hilangnya spesies
  • Keanekaragaman hayati: Bumi yang sekarang telah memasuki tahap kepunahan spesies keenam terbesar
  • Polusi: bahan kimia berbahaya ditemukan di semua generasi baru dan diperkirakan satu dari empat orang di dunia terpapar polusi udara yang tak sehat
bila benar demikian, artinya sejak lima tahun lalu, prediksi hilangnya generasi dan hilangnya kehidupan telah dikumandangkan semakin kencang. namun tak jua ada upaya perbaikan pola konsumsi, khususnya di negara-negara utara. tidak adanya komitment Amerika Serikat dalam menurunkan emisi, merupakan sebuah gambaran yang sangat jelas dari upaya negara tersebut untuk mempercepat kehancuran bumi.
dengan gambaran yang ada, tak lagi penting untuk membangun sebuah relasi yang kuat dengan negara industri. negara-negara tropis dan negara-negara kepulauan, merupakan penyelamat bumi yang utama. inisiatif-inisiatif yang didorongkan oleh negara utara, tak lagi harus diikuti. negara-negara selatan, harus memilih jalannya sendiri untuk menyelamatkan kehidupan.
penghentian sementara perijinan yang menghancurkan aset-aset alam di negeri ini harus menjadi pilihan pertama. lalu kemudian melakukan perhitungan ulang atas aset-aset alam yang tersisa, serta kebutuhan lokal-nasional. setelah itu, barulah dibangun sebuah sistem baru dalam pengelolaan kekayaan alam. UU Pengelolaan Sumberdaya Alam, bukanlah semata untuk mengatur pola eksploitasi, tapi jauh dari itu, UU PSDA harus mengatur keberlanjutan kehidupan spesies antar generasi.

0 komentar:

Posting Komentar